oleh

Jangan Lupa, Kita Negara Republik !

Iklan Travel

TribunAsia.com

Catatan singkat terkait Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.

IKLAN-TA-CALEG

Oleh : Andi Syafrani

RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaker) yang naskahnya sudah beredar luas melalui medsos WAG kini jadi perhatian publik. Komentator, pakar, dan media mulai bersuara, menguak satu per satu bagian RUU itu.

Yang diperhatikan kebanyakan adalah substansinya. Namun ini pasti akan melelahkan dan tidak mendalam karena RUU itu tidak hanya sangat tebal, dan mungkin akan menjadi UU paling tebal pertama dalam sejarah UU kita (jika disahkan), terlebih substansinya yang disusun dalam 11 klaster terkait dengan 79 UU yang sudah berlaku.

Luas dan besarnya cakupan RUU ini yang akan membuat diskusi dalam media atau seminar hanya akan bersifat artifisial, tidak mendakik, bahkan bisa menyesatkan.

Pro-kontra tampak ke permukaan. Kelompok pengusaha, meski belum secara terang-terangan, tentu di barisan pendukung. Aktivis lingkungan dan prodem, belakangan pegiat kebebasan media juga, kebanyakan ambil posisi berseberangan.

Dalam iklim demokrasi tentu saja ini sesuatu yang baik sebab RUU menjadi public discourse dan dikontestasikan dalam ruang publik yang relatif belum terlihat terhegemoni pihak tertentu.

Melihat tebalnya RUU ini melebihi disertasi tentu wajar jika diasumsikan draftnya telah disiapkan dalam waktu yang lumayan panjang oleh tim yang luar biasa ahli. Adalah wajar juga jika pihak-pihak yang tidak terlibat dalam penyusunannya diberikan waktu yang sama panjangnya atau bahkan lebih lama untuk membahas dan mendiskusikannya.

Sebelum menelaah batang tubuh RUU, agar konstruksi dan blueprint RUU ini dapat dilihat secara utuh, pembacaan terhadap lembar demi lembar Naskah Akademik (NA) RUU ini merupakan keharusan. Ini yang tampaknya belum mencuat dalam diskusi di ruang publik.

Seperti naskah RUU, NA-nya tak lebih tipis, bahkan seperti disertasi dengan daftar referensi yang berlimpah. Membacanya laksana mengunjungi kebun bunga yang berisi beragam teori indah dan data aktual, serta proyeksi ekonomi yang seakan nyata.

Secara ciamik, penyusun NA menarasikan koneksi antara hukum tatanegara, ilmu perundang-undangan, hukum administrasi negara, good governance, dan teori ekonomi makro.

Terbayang level para ahli yang berada di balik ratusan ribu kalimat yang tersusun dalam naskah NA tersebut. Tentu sebuah karya yang luar biasa yang patut diapresiasi.

Terlepas dari penjelasan aspek teoritik yang sangat memukau, dalam NA tersebut ada beberapa proposisi penting yang sebenarnya menjadi pijakan utama dianggap pentingnya RUU ini.

Tentu proposisi hukum yang saya fokuskan di sini mengingat saya tidak cukup pengetahuan soal aspek-aspek ekonomi dan bisnis yang menjadi bagian penting lainnya sebagai fundamen eksistensi RUU. Diantaranya adalah:

1. Omnibus Law hanyalah metode dari sekian jenis cara pembuatan peraturan per-UU-an.

2. Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi administrasi pemerintahan berhak secara konstitusi membuat diskresi.

3. Diskresi merupakan hak prerogatif Presiden.

4. Agar hukum administrasi negara dapat berjalan sesuai tujuannya, sesuai dengan hak prerogatifnya, Presiden diberikan hak untuk mengubah UU.

Postulat konstitusional yang dikonstruksi perumus NA sekilas solid, hingga munculnya kesimpulan tentang hak Presiden untuk menjadi the sole law maker. Pada titik ini debat konstitusional terbuka.

Di antara pokok persoalan yang dapat didiskusikan sebagai argumen sisi lain dari proposisi di atas adalah:

1. Dengan puncak tawaran Presiden sebagai pembuat UU satu-satunya, Omnibus Law tidak lagi dibayangkan sebagai metode semata, tapi ia bertransformasi menjadi tujuan.

Ada “misi konstitusional” tersembunyi di sana. Instrumen Omnibus Law yang senyatanya hanya berada dalam tataran interpretasi terhadap konstitusi, merengsek masuk pada tubuh konstitusi itu sendiri.

Norma pembagian kekuasaan trias politika dalam legislasi yang mensyaratkan kebersamaan Presiden dan DPR dinihilkan melalui sebuah alat.

Makna etimologis Omnibus “segalanya” atau “semuanya” dieksploitasi habis sebagai metode untuk menjadikannya hukum segalanya, bahkan seakan di atas atau setidaknya sejajar dengan konstitusi sebagai hukum segalanya sebuah bangsa.

Satu UU Omnibus Law ini akan menjadi entry point untuk masuk ke 79 UU lainnya. Bayangkan kalau ada beberapa UU yang dijadikan sebagai Omnibus Law, berapa UU yang dapat dikendalikan langsung di tangan Presiden?

Informasi saat ini setidaknya ada 1 lagi RUU Omnibus Law yang disiapkan yakni terkait dengan UU bidang perpajakan dan keuangan. Bukan metode yang jadi soal di sini, tapi tujuan intrinsik yang termuat dalam model UU ini.

2. Hukum Administrasi Negara diposisikan sebagai tujuan utama, bukan sebagai instrumen. Padahal secara struktural, posisi HAN dalam pengajaran umum di bangku perkuliahan hukum ditempatkan sebagai sub kategori HTN.

Melalui RUU Omnibus Law, HAN naik derajatnya sebagai HTN itu sendiri. Komplikasi aspek teknis administrasi negara dijadikan justifikasi untuk shifting hirarki hukum dari species ke genus atau mungkin dari diffrentia ke spesies.

3. Apakah kewenangan pembuatan hukum merupakan bagian dari diskresi? Mengingat output utama diskresi adalah action based policy, bukan hukum.

Yang tak kalah merisaukan adalah adanya asumsi bahwa diskresi bagian dari hak prerogatif Presiden, padahal sebagaimana ditulis dalam NA RUU ini, tidak ada satupun kata diskresi (pembuatan hukum, tentunya) termaktub dalam konstitusi.

Pada bagian ini juga sebenarnya ekstensifikasi dari alasan sebelumnya tentang naiknya level hukum administrasi negara menjadi hukum konstitusi.

Terma diskresi jelas merupakan tema hukum administrasi negara, tapi dipaksa ditarik ke atas dalam konstruksi hukum konstitusi dipadankan dengan hak prerogatif.

Logika analogi ini mengandung kecacatan dan karenanya merupakan sesuatu yang keliru (qiyas ma’al fariq/batil). Konklusinya tak hanya berdampak menyesatkan tapi merusak norma yang telah disepakati dalam konstitusi, kecuali mau diubah dulu kesepakatannya.

4. Satu aspek fundamental yang hilang dari spirit kenegaraan dalam naskah NA RUU ini adalah doktrin republik. Norma konstitusi negara ini merupakan negara kesatuan yang berwujud republik hanya dicomot bagian muka, yakni negara kesatuan.

Tafsirnya pun dipersempit hanya pada pemahaman bahwa Presiden pemegang kekuasaan yang satu, tidak berbagi dan tak dibagikan.

Tak perlu kiranya mengutip sana sini referensi tentang teori dan sejarah tentang apa arti penting kata republik sebagai dasar bentuk negara seperti NA yang bertabur catatan kaki banyak, mengingat ini hanya opini ringkas yang muncul spontan dari lubuk hati.

Kisah revolusi Perancis tak perlu dirangkai ulang untuk mengingatkan urgensi kata ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Cukup kira diingatkan slogan populer “NKRI harga mati”. Dimana tidak hanya kata kesatuan tertera di sana, tapi juga kata republik menyatu di sana sebagai sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar.

Sebagai republik, negara ini dibangun atas dasar keinsafan bahwa tak boleh ada kekuasaan absolut, tunggal, dan terpusat.

Sebagai Negara Kesatuan, keyakinan yang disepakati berbasis kebersamaan, bukan ke-satu-an. Yakni satu yang berdiri sendiri, tapi satu yang berhimpun dari singularitas yang jamak.

Membuat Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan dan administrasi negara sebagai pihak yang dapat pula membuat UU sendirian merupakan pengingkaran trias politika yang merupakan anak kandung republik, buah revolusi Perancis.

Permasalahan dan tantangan yang dipaparkan dalam NA memang sesuatu yang sangat merisaukan.

Tapi, apakah cara menyelesaikannya harus dengan mengganti wajah Republik? Yang jelas, sampai saat ini, hanya mengingatkan, jangan lupa kita negara republik dan NKRI harga mati.

Wallahu a’lam bis showab.

Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.