Oleh: Tjahja Gunawan (Penulis, Wartawan Senior)
Karena banyak yang bertanya, baik secara langsung maupun via sosmed, kenapa dinamai Sistem Ekonomi Langit, bukan Sistem Ekonomi Islam atau Sistem Ekonomi Syari’ah? Padahal kalau kita cermati isinya 100% berlandaskan Qur’an dan Hadits, maka saya menghubungi Ust Saeed Kamyabi dan inilah beberapa point jawaban beliau yang menjadi catatan saya.
Saeed Kamyabi menamai konsep ini Sistem Ekonomi Langit sebagai bagian dari strategi marketing. Dalam konteks global, istilah “Islam” atau “syariah” sering kali memunculkan stigma atau resistensi, terutama dari kelompok yang mengalami Islamophobia atau mereka yang alergi terhadap terminologi berbasis agama. Ketika mendengar kata “syariah,” beberapa pihak cenderung menutup pikiran, mengabaikan substansi, dan menolak gagasan tersebut bahkan sebelum memahami inti dari sistem yang ditawarkan.
Sebaliknya, nama “Sistem Ekonomi Langit” lebih universal dan inklusif. Langit adalah simbol yang meliputi semua makhluk tanpa diskriminasi, terlepas dari agama, budaya, atau ideologi. Dengan menyebutnya “langit,” Saeed ingin menekankan bahwa prinsip-prinsip ekonomi yang ia usung adalah bersifat transenden, mengatasi sekat-sekat perbedaan, dan membawa keadilan universal. Selain itu, istilah ini mengandung filosofi bahwa sistem ini berasal dari wahyu Allah yang diturunkan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk Muslim semata.
Keuntungan Non-Muslim Mengikuti Sistem Ekonomi Langit
Sistem Ekonomi Langit tidak hanya memprioritaskan umat Islam, tetapi dirancang untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada semua manusia. Bahkan, sejarah mencatat bagaimana non-Muslim mendapat manfaat langsung dari penerapan sistem ekonomi berbasis wahyu di masa para sahabat, tabi’in, dan pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz. Berikut beberapa contohnya:
- Pajak yang Adil (Jizyah dan Zakat)
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, jizyah dikenakan kepada non-Muslim sebagai bentuk kontribusi mereka terhadap negara. Namun, keadilannya luar biasa. Non-Muslim yang tidak mampu, seperti orang tua atau yang cacat, justru dibebaskan dari jizyah dan diberi tunjangan dari kas negara (baitul mal). Ini mencerminkan konsep tanggung jawab negara kepada seluruh warga negaranya, tanpa memandang agama. Contohnya, saat Umar bin Khattab melihat seorang Yahudi tua meminta-minta, beliau berkata, “Kami telah mengambil jizyah darimu saat muda, tapi sekarang kami menelantarkanmu.” Lalu, Umar memerintahkan agar Yahudi tersebut diberi tunjangan hidup dari baitul mal. - Keadilan dalam Sistem Ekonomi
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, salah satu langkah pertamanya adalah membersihkan korupsi dan mendistribusikan kekayaan secara adil. Bahkan, di zamannya, tidak ada satu orang pun yang layak menerima zakat, baik Muslim maupun non-Muslim, karena kesejahteraan telah merata. Non-Muslim juga mendapat manfaat dari keamanan ekonomi dan keadilan sosial yang ditawarkan sistem tersebut. - Perlakuan Setara dalam Bisnis
Dalam sistem ekonomi berbasis wahyu, semua pihak diperlakukan dengan adil, termasuk non-Muslim. Di era sahabat, kaum Yahudi dan Nasrani yang terlibat dalam perdagangan tetap diberi ruang untuk berkembang dengan syarat tidak melanggar aturan dasar seperti riba, penipuan, dan monopoli. Contoh nyata adalah kebijakan Umar bin Khattab yang melarang praktik riba, termasuk oleh pedagang non-Muslim, demi melindungi masyarakat dari eksploitasi ekonomi. - Kesejahteraan Kolektif
Non-Muslim juga mendapatkan manfaat dari kebijakan wakaf, yang tidak hanya digunakan untuk kepentingan umat Islam. Banyak wakaf yang dikelola untuk keperluan umum, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah, dan jalan raya, yang semuanya dapat digunakan oleh siapa saja. Di masa Umar bin Abdul Aziz, kebijakan wakaf berkembang pesat sehingga banyak proyek infrastruktur yang dirasakan manfaatnya oleh semua komunitas.
Mengapa Non-Muslim Beruntung Jika Mendukung Sistem Ekonomi Langit?
- Keadilan Universal
Sistem ini berbasis wahyu yang menjamin keadilan tanpa memandang status sosial, agama, atau ras. Non-Muslim tidak akan merasa terdiskriminasi, bahkan dilindungi oleh sistem yang mengutamakan transparansi dan keadilan. - Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Sistem Ekonomi Langit memastikan distribusi kekayaan yang adil sehingga kesenjangan ekonomi dapat diminimalkan. Dalam lingkungan yang stabil, non-Muslim pun dapat menikmati hasil kerja keras mereka tanpa takut ketidakadilan atau eksploitasi. - Penghapusan Eksploitasi Ekonomi
Dengan melarang riba, sistem ini menciptakan lingkungan ekonomi yang bebas dari praktik eksploitasi. Non-Muslim juga diuntungkan karena mereka terhindar dari utang yang membebani atau sistem keuangan yang tidak adil. - Perdamaian dan Keamanan
Sistem ini mendukung perdamaian karena fokusnya pada keadilan dan penghapusan kesenjangan sosial. Dengan demikian, semua pihak, termasuk non-Muslim, dapat hidup dalam harmoni di bawah sistem ini.
Saeed Kamyabi memahami bahwa nama adalah bagian dari komunikasi dan strategi untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan memilih istilah Sistem Ekonomi Langit, ia menghapus potensi resistensi yang muncul dari istilah berbasis agama.
Selain itu, sejarah membuktikan bahwa prinsip-prinsip ekonomi berbasis wahyu memberikan keuntungan nyata kepada seluruh manusia, termasuk non-Muslim, melalui keadilan, kesejahteraan, dan keamanan sosial. Non-Muslim tidak hanya diuntungkan tetapi juga pada akhirnya mendukung sistem ini karena keunggulannya yang tidak tertandingi dan terbukti.
Mana buktinya? Silakan buka lembaran sejarah, rasakan bagaimana susahnya kehidupan manusia sebelum Islam; jahil, biadab, musuhan, perang dan miskin. Tapi setelah mereka terima Islam orang yang sama berubah jadi ‘alim, beradab, berkasih sayang, damai dan kaya raya. Waktunya tidak terlalu lama, kekayaan mulai datang ke Madinah sejak zaman Umar bin Khattab RA, hanya sekitar 35 tahun dari awal dakwah. Sebenarnya sistem ini bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk seluruh manusia yang tinggal di bawah kolong langit. Demikian Saeed Kamyabi mengakhiri keterangannya sambil tertawa lepasss… hehe… semua akan bahagia…
Rawabuntu, 12 Desember 2024
Komentar