Oleh : Ust Saeed Kamyabi, dari Singapura
Sejarah Islam mencatat banyak kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang begitu takut dan berat hati menerima amanah kepemimpinan. Bagi mereka, menjadi pemimpin bukanlah sebuah kehormatan, melainkan tanggung jawab besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Penyesalan mereka tidak hanya muncul ketika menerima jabatan, tetapi juga setelah selesai menjabat, jika merasa belum maksimal memberikan manfaat kepada umat.
Penyesalan Pemimpin dari Kalangan Sahabat
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Abdullah bin Umar RA. Ketika para sahabat mengusulkan namanya sebagai khalifah setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan RA, ia menolak dengan tegas. Abdullah bin Umar RA beralasan bahwa jabatan tersebut terlalu berat dan ia takut tidak mampu menunaikannya dengan adil. Baginya, lebih baik hidup sebagai rakyat biasa yang bisa memperbaiki diri daripada menjadi pemimpin yang kelak menyesal di akhirat.
Contoh lainnya adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Umayyah yang dikenal sebagai pemimpin yang adil. Meskipun ia menerima jabatan khalifah, setelah masa pemerintahannya berakhir, ia menyesali banyak hal yang menurutnya belum sempat ia lakukan untuk umat. Beliau sering menangis dan berdoa agar Allah mengampuni kekurangan-kekurangannya selama memimpin.
Pelajaran dari Penyesalan Pemimpin
Sikap menyesal ini lahir dari keyakinan mereka akan tanggung jawab besar yang melekat pada jabatan pemimpin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Para sahabat memahami betul bahwa kekuasaan adalah ujian yang sangat berat, bukan hanya bagi mereka secara pribadi, tetapi juga bagi masyarakat yang mereka pimpin.
Penyesalan ini adalah bentuk introspeksi diri. Mereka tidak mencari pembenaran atas kekurangan, tetapi berusaha memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, bahkan setelah masa jabatan mereka selesai.
Pemimpin Zaman Sekarang yang Menyesal
Penyesalan semacam ini juga bisa ditemukan pada pemimpin zaman sekarang. Salah satu contoh nyata adalah Presiden Uruguay, José Mujica, yang dikenal dengan gaya hidup sederhananya. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan penyesalannya karena merasa tidak cukup mampu mengatasi kemiskinan di negaranya meskipun telah berjuang keras. Baginya, jabatan presiden adalah peluang untuk berbuat baik, tetapi keterbatasan waktu dan sistem sering kali menghambat niat mulia tersebut.
Contoh lain adalah mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dalam beberapa wawancara mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang ia sesali selama dua periode pemerintahannya, seperti kurang maksimalnya reformasi birokrasi dan penyelesaian konflik sosial di beberapa daerah. Penyesalan ini menunjukkan bahwa jabatan yang diemban, meskipun sudah berusaha dengan baik, masih menyisakan ruang untuk perbaikan.
Kisah-kisah ini mengajarkan kita bahwa jabatan adalah tanggung jawab besar, bukan sekadar prestise atau kebanggaan. Pemimpin sejati adalah mereka yang memahami bahwa kekuasaan hanya alat untuk menebarkan kebaikan, bukan untuk kepentingan pribadi. Seperti kata pepatah, “Puncak dari sebuah kekuasaan adalah ketika kita mampu menjadi pelayan bagi orang banyak.”
Semoga para pemimpin hari ini, dari RT, RW, Kades, Lurah, Camat, Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, baik di dunia Islam maupun di dunia modern, bisa mengambil pelajaran dari para Sahabat dan senantiasa menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta berbuat baik untuk umat. Dan bagi mereka yang merasa belum maksimal, penyesalan bukanlah akhir, tetapi awal dari upaya untuk terus memberikan manfaat, bahkan setelah masa jabatan berakhir.
Changi Airport
Singapore, 29 November 2024
Komentar