oleh

Pakubuwana IV, Raja Jawa Sesungguhnya. Dikenal Shalih dan Bertakwa

Iklan Travel

Oleh: Zulfikri (Pembina Rumah Baca Terassharing)

Iklan ASIA CORP

Beberapa waktu lalu, Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar yang terpilih melalui “Munaslub” menyinggung soal “Raja Jawa” di dalam pidato perdananya. Bahlil meminta para kader Partai Golkar tidak bermain-main dengan “Raja Jawa” jika tidak ingin celaka. Ia lantas mengungkit dampak jika ada pihak yang mencoba main-main dengan si Raja Jawa. Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan si Raja Jawa yang dimaksud di sini oleh Bahlil, meskipun publik mengasosiasikannya dengan Jokowo atau Mulyono, sosok mantan penguasa yang berambisi untuk membangun dinasti. Belakangan Bahlil mengatakan, itu hanya candaan politik belaka.


Lebih dari dua abad silam, ada seorang anak muda shalih bertakwa yang memerintah di tanah Jawa. Pemuda tampan berjuluk Sunan Bagus yang mewarisi tahta dari sang ayahnya itu mulai memerintah sejak usia 20 tahun. Selama 32 tahun, sang raja memerintah dengan tekad kuat untuk kembali menyatukan tanah Mataram setelah dikoyak dipecah menjadi 3 kerajaan karena campur tangan VOC. Kebenciannya pada kolonialisme bangsa asing VOC yang merusak tatanan wilayah leluhurnya membuatnya bertekad untuk berusaha melawan dan mengusir mereka.

Nama pemuda tampan itu adalah Raden Mas Gusti Subadya, putera laki-laki tertua Sunan Pakubuwono III. Dari jalur sang ibu, Kanjeng Ratu Kencana putri Kyai Tumenggung Wirareja, jejak leluhurnya terhubung hingga ke Sultan Demak. Ia lahir pada 2 September 1768 dan naik tahta pada 29 September 1788 pada usia 20 tahun dengan gelar Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping IV ing Nagari Surakarta Hadiningrat. Ia juga dikenal dengan gelar tambahan Ratu Ambeg Wali Mukmin, yang mencerminkan karakter religiusnya. Secara ringkas biasa disebut Sunan Pakubuwana IV.

Sunan Pakubuwana IV bukan termasuk pemimpin yang membenci kaum ulama. Beliau justru tumbuh dalam lingkungan religius dan memiliki hubungan erat dengan para ulama, termasuk Abdi Dalem Ngulama. Sebagai raja, ia menunjukkan komitmen terhadap ajaran Islam, terlihat dari aktivitasnya sebagai khatib Jumat di Masjid Agung Surakarta dan pesan-pesan moral dalam karya-karyanya, seperti Serat Wulangreh, Suluk Haspiya, dan Cipta Waskitha. Ajarannya banyak merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis, menekankan pentingnya budi pekerti dan nilai-nilai moral Islam.

Pakubuwana IV dianggap sebagai pembaharu dalam budaya Jawa, mengedepankan moral Islam sebagai landasan kehidupan. Sebelum masa kepemimpinan Pakubuwana IV, di Kasunanan Surakarta sudah berkembang bermacam-macam serat piwulang hasil karya pujangga kraton yang lebih bercorak mistis Jawa. Namun di masa Pakubuwana IV, ajaran-ajaran mistis itu dihilangkan. Sang Raja itu lebih menekankan ajaran serat piwulangnya pada aspek penghayatan dan pendalaman ajaran moral akhlak. Diantara karya-karya tulisnya antara lain:

  1. Serat Wulangreh yang berisi ajaran moral dan budi pekerti dengan basis ajaran Islam yang dipadukan dengan nilai-nilai budaya Jawa.
  2. Serat Suluk Haspiya yang mengupas nilai-nilai spiritual dan moralitas Islam yang dijadikan pedoman hidup.
  3. Serat Suluk Cipta Waskitha yang mengajarkan kebijaksanaan hidup dan keselarasan antara duniawi dan ukhrawi.
  4. Serat Wulang Puteri yang merupakan sebuah panduan khusus bagi perempuan tentang etika dan perilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Karya-karya Serat Piwulang lainnya seperti: Serat Wulang Dalem, Serat Brata Sanu, Serat Wulang Tatakrama, Serat Panji Raras, Panji Sekar, Panji Dhadap, dan Panji Blitar. Karya-karyanya menjadi bagian penting dalam perkembangan kepustakaan Islam Jawa, yang memadukan tradisi Jawa dengan ajaran Islam.

Pakubuwana IV juga berusaha memperbaiki hubungan antara kalangan priyayi dan ulama, termasuk melalui perkawinan keluarga kerajaan dengan para ulama. Beliau bahkan mengambil menantu seorang Kyai pengasuh Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, Kyai Imam Kasan Besari.

Kedekatan Sunan Pakubuwana IV dengan kaum ulama tercermin juga pada pemilihan dan pengangkatan Tujuh Ulama Pinilih sebagai Pengageng sekaligus penasehat raja yang terkenal dengan sebutan “SANTRI PITU”, yaitu tujuh orang tokoh ulama yang ditugaskan membimbing dan mengajarkan ajaran luhur Syari’at Islam di dalam keluarga dan para Sentono dalem serta kawulo Kasunanan Surakarta. Ketujuh ulama Abdi Dalem Kinasih dari Pakubuwana IV itu yaitu: Raden Santri, Pangeran Panengah, Raden Wiradigda, Raden Kandhuruhan, Kyai Bahman, Kyai Nursoleh, dan Bagus Murtoyo atau (Kyai Muhammad Qorib).

Kedekatan dan keluhuran budi pekerti serta adab Sunan Pakubuwana IV kepada ulama dapat digambarkan pada sebuah cerita saat Sang Raja itu berkunjung ke rumah Kyai Imam Syuhodo di Wonorejo, Bekonang, pada malam hari. Diriwayatkan bahwa pada saat itu, pintu gerbang rumah sudah terkunci dan dijaga oleh pembantu sekaligus penjaga rumah yang bernama Ki Onggo. Karena sang tamu mengetok gerbang pada malam hari, tentu saja wajar kalua Ki Onggo merasa agak kesal sehingga berkata dengan nada yang agak kesal dan kasar. Namun begitu pintu gerbang dibuka dan mengetahui bahwa ternyata sang tamu yang mengetok pintu gerbang adalah Sang Raja Pakubuwana IV, Ki Onggo langsung lemas seraya meminta maaf berulang-ulang. Menariknya, sikap kasar Ki Onggro ini tidak membuat sang Raja marah. Raja Pakubuwono IV hanya tersenyum saja memaklumi.

Kunjungan Pakubuwana IV ke rumah KH Imam Syuhodo pada malam hari itu ternyata tidak hanya dilakukan sekali dua kali, melainkan sering dan rutin. Sebagai raja, beliau tidak merasa gengsi untuk mendatangi ulama dalam rangka belajar dan berguru mencari ilmu. Dalam hal ini, Pakubuwana IV merasa perlu belajar Al Quran dan ilmu-ilmu agama Islam kepada Kyai Imam Syuhodo di rumah Kyai Imam Syuhodo setiap malam Jumat. Apabila beliau berhalangan hadir, maka beliau akan mengutus abdi dalem Kraton untuk menyampaikan informasi ketidakhadiran sang raja.

Sunan Pakubuwana IV juga mendorong pendirian pondok pesantren yang diharapkan menjadi pusat peradaban dan perjuangan berbasis ilmu. Pendirian Pondok Pesantren Wonorejo Bekonang dan Pondok Pesantren Jamsaren dilakukan di masa beliau berkuasa. Hal itu belum termasuk perhatian-perhatian beliau pada pondok-pondok pesantren yang sudah berdiri dan dibangun lebih dahulu oleh para ulama kyai di wilayah kekuasaannya. Kelak dari pesantren-pesantren itu akan muncul pejuang-pejuang dari barisan para ulama dan santri yang menyongsong perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap VOC.

Kedekatan Sunan Pakubuwana IV dengan ulama itu membuat kebijakan-kebijakan yang berlaku di masa pemerintahannya diikhtiarkan maksimal dengan aturan-aturan yang selaras dengan Syariat Islam. Abdi dalem diwajibkannya patuh kepada syariat Islam, termasuk juga mengharamkan minuman keras dan madat atau mengisap candu sebagaimana ajaran agama Islam. Jika ada abdi dalem yang ketahuan tak mematuhi syariat Islam, beliau tak ragu menindak, menggeser, atau bahkan memecatnya. Tumenggung Pringgoloyo dan Tumenggung Mangkuyudo merupakan contoh diantara mereka yang harus menerima sanksi tegas dari Sang Raja akibat melanggar ketentuan itu. Sementara pangeran ataupun pembesar kraton lainnya merasa tersingkir oleh kedekatan sejumlah alim ulama yang dilibatkan sebagai abdi dalem dalam Kraton Kasunanan.

Kedekatan Sunan Pakubuwana IV dengan kalangan para ulama dan santri sayangnya banyak tidak disukai oleh kalangan abdi dalem yang berlatar belakang priyayi dan VOC serta kerajaan pecahan Mataram lain, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Melalui berbagai cara dan persekongkolan, mereka membuat berbagai acam isu hingga VOC meyakini adanya desas-desus yang menyatakan rencana pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Eropa yang berada di Jawa oleh Sunan Pakubuwana IV.

Puncaknya pada November 1790, musuh-musuh Sunan Pakubuwana IV yang tak suka dengan kehidupan dan kebijakan-kebijakan berlandaskan keislaman yang dibuatnya melakukan pengepungan istana Kasunanan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Pakepung. Kraton Kasunanan Surakarta dikepung oleh ribuan pasukan militer dari Kraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan VOC. Ketiganya kekuatan itu bersatu dengan para abdi dalem Kasunanan yang tersingkir dan tak suka dengan Syariat Islam untuk menekan Sunan Pakubuwana IV.

Tuntutan mereka adalah meminta para penasehat Sunan Pakubuwana IV diserahkan dan dihukum secara dibakar. Tentu saja Pakubuwana IV tidak mau menyerahkan begitu saja para abdi dalem kinasihnya itu. Setelah melalui proses negosiasi, Sunan Pakubuwana IV bersedia menyerahkan keenam abdi dalem ngulama kinasih-nya dengan syarat bahwa mereka tidak dihukum mati. Walhasil, Raden Santri, Pangeran Panengah, Raden Wirodigdo, Raden Kandhuruhan, Kyai Bahman, dan Kyai Nur Shaleh dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia untuk diasingkan dan dibuang ke luar negeri. Sementara Kanjeng Bagus Murtoyo (Kyai Muhammad Qorib) karena masih saudara angkat Sunan Pakubuwana IV, beliau dibebaskan dari penahanan dan pengasingan meski dengan syarat hanya boleh mengajar di Pondok Pesantren Kyai Abdul Jalil di Kaliyoso.

Sejak Peristiwa “Pakepungan” tahun 1790 itu kehidupan Kraton Kasunanan yang semula berbasis Syariat Islam menjadi luntur. Kajian-kajian keislaman di lingkungan keluarga Kraton dan kawulo kraton ditiadakan. Namun demikian, semangat dan spirit perjuangan serta pengajaran Sunan Pakubuwana IV masih terus dijaga bara apinya agar tetap menyala. Beliau kemudian dekat dengan Kyai Imam Bagus Syuhodo yang merupakan ulama yang hafal Al Quran 30 juz. Kepada Kyai Imam Syuhodo, Sunan Pakubuwana IV kemudian belajar, berduru, dan berdiskusi serta bertukar pikiran. Atas izin dari Sunan Pakubuwana IV juga, Kyai Bagus Syuhodo membangun Pondok Pesantren di desa Wonorejo. Sunan Pakubuwana IV juga rutin belajar setiap malam Jumat. Hasil belajar dan diskusinya di loteng Masjid Wonorejo Bersama Kyai Imam Syuhodo melahirkan sebuah karya agung Serat Wulang Reh yang selesai ditulis pada Ahad tanggal 19 Besar 1735 tahun Dal Windu Sancaya Wuku Sungsang atau tahun 1808 Masehi.

Diantara kutipan-kutipan piwulang atau ajaran yang ditulis Sunan Pakubuwana IV pada Serat Wulangreh antara lain:

  1. Tentang Pentingnya Guru Sejati
    “Jroning kuran nggonira sayekti, nanging ta piliha ingkang uninga,
    kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih,
    mundhak katalanjukan, temah sasar susur yen sira ayun waskita,
    sampurnane ing badanira puniki, sira angguguruha.”

Artinya: Dalam Al-Qur’an tempat yang sejati kehidupanmu, tetapi tidak sembarang ang dapat mengetahui, kecuali yang mendapat petunjuk Tuhan. Untuk itu tidak boleh dipelajari asal-asalan sebab nantinya dapat tersesat. Jika benar-benar ingin mengetahui hakekat kesempurnaan hidup, belajarlah kepada guru yang sejati.

  1. Tentang Pengendalian Diri
    “Adigang, adigung, adiguna, kabeh iku padha dadi sebab musibah.
    Awit iku, den beciki lakumu, aja na adigang, aja adigung, _aja adiguna, iku kabeh ngelmu kang utama.”

Artinya: Kesombongan karena kekuatan (adigang), kebesaran (adigung), dan kehebatan (adiguna) akan menjadi penyebab bencana. Oleh karena itu, perbaikilah perilakumu dengan meninggalkan ketiga sifat tersebut.

  1. Tentang Sembah Lima
    “Kudu uga den lakoni rukun lima punika, mapan ta sakuwasane,
    nanging aja tan linakonan, sapa tan nglakoni, tan wurung nemu bebendu.”

Artinya: Jalankanlah rukun Islam yang lima sedapat mungkin. Jangan sampai ditinggalkan, karena apabila meninggalkannya akan mendatangkan murka Tuhan. Oleh karena itu, benar-benar perhatikanlah.

  1. Tentang Menjaga Pergaulan
    “Dalaning urip ing donya iku kudu tansah deduga prayoga,
    watara reringa, manawa nglampahi pakarti kang utama,
    aja mung sawenang-sawenang tumindak.”

Artinya: Dalam menjalani hidup di dunia, berhati-hatilah, bertindaklah dengan bijaksana, dan timbanglah tindakanmu. Hindari sikap semena-mena atau sembarangan.

  1. Tentang Syukur kepada Tuhan
    “Syukura, syukura marang pangandika Hyang Widhi,
    den anugrahi urip kang becik. Iku tansah elinga,
    aja pijer lali, supaya slamet ing donya lan akhirat.”

Artinya: Bersyukurlah kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kehidupan yang baik. Selalu ingat kepada-Nya dan jangan lalai agar selamat di dunia dan akhirat.

  1. Tentang Ngunduh Wohing Pakarti
    “Ngunduh wohing pakarti, iku pinesthine manungsa.
    Apa kang disebar bakal dipanen. Mula tansah prayitna,
    aja tumindak ala, amarga mesti bali marang awakmu dhewe.”

Artinya: Setiap orang akan menuai hasil dari perbuatannya. Apa yang ditanam akan dipetik. Oleh karena itu, selalu berhati-hatilah dan jangan berbuat buruk, karena akibatnya akan kembali kepada dirimu sendiri.

  1. Tentang Perintah Belajar Hadis
    Parenthe Hyang Widhi kang dhawuh mring Nabiyullah ing dalil kadis enggone, aja na ingkang sembrana, rasakna den karasa, dalil kadis rasanipun, dadi padhang ing tyasira.

Artinya: Perintah Tuhan melalui Nabi Allah yang terdapat dalam hadis, jangan sampai ada yang sembrana, rasakan dengan mendalam isi dalil tersebut agar menjadi pelita hatimu.

Demikian sepenggal cerita tentang Sunan Pakubuwana IV, Raja Jawa sesungguhnya yang shalih dan bertakwa. Ketakwaannya kepada Allah ta’ala membuat barisan koalisi yang tak suka pada kepemimpinannya bersekongkol bersama untuk menjatuhkan dan menghancurkannya. Atas izin Allah, Pakubuwana IV masih tetap bertahta menjadi raja Kasunanan Surakarta meskipun pemerintah penjajah sempat beralih berganti dari VOC ke Inggris dan kemudian kembali kepada Belanda pada 1816. Beliau mangkat (wafat) pada 2 Oktober 1820. Tahtanya digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra Pakubuwana IV yang menjadi raja, yaitu Pakubuwana VII dan Pakubuwana VIII. Semoga Allah merahmati Sunan Pakubuwana IV. Amin.

Insya Allah, berikutnya kita akan membaca tentang Riwayat KH Imam Bagus Syuhodo, ulama penghafal Quran guru Sunan Pakubuwana IV, yang membuka hutan menjadi Desa Wonorejo yang sampai saat ini menjadi salah satu pusat peradaban Islam di Surakarta.

Iklan ASIA CORP

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.