Oleh: Zulfikri (Pembina Rumah Baca Terassharing)
Pada suatu kesempatan, seorang Ketua Pembina Yayasan yang menaungi sebuah Pondok Pesantren setingkat SMP-SMA bercerita ke saya mengenai tantangan pondok pesantren yang dikelolanya seringkali berkutat mengenai aspek finansial. Beliau bercerita, rata-rata nilai tunggakan uang SPP santri di pondok pesantren yang dikelolanya mencapai Rp 200 juta di setiap bulannya.
Angka sebesar itu merupakan akumulasi dari tunggakan SPP para santri yang menunggak lebih dari 6 bulan. Angka itu belum memperhitungkan tunggakan SPP santri yang telat membayar 1 – 5 bulan. Bila dihitung semua nilai tunggakan SPP santri yang terlambat pembayarannya mulai dari 1 bulan, nilainya bisa mencapai hampir setengah miliar rupiah.
Pernah suatu ketika di akhir bulan, Yayasan tidak memiliki uang di kas. Punya, tapi nilainya sangat sedikit sekali. Uang kas saat itu tidak memungkinkan digunakan untuk menggaji seluruh guru (ustadz) dan staf pondok. Sementara, hanya dalam hitungan hari, Yayasan harus memberikan gaji. Faktor utamanya saat itu disebabkan oleh adanya tunggakan SPP dari sebagian besar santri yang nilainya lebih dari Rp300 juta. Akibat tunggakan sebesar itu, cashflow keuangan pondok jadi terganggu.
Akibat gangguan cashflow keuangan, saat itu gaji sejumlah guru (ustadz) harus mengalami keterlambatan. Sejumlah staf Yayasan dan Pondok Pesantren harus terlambat sebulan menerima gaji. Padahal gaji mereka tidak bisa dibilang besar sedangkan kebutuhan bulanan mereka cukup banyak.
Sepertinya, kita perlu melakukan gerakan penyadaran diri atau penyadaran individu terhadap setiap kewajiban khususnya yang merupakan kewajiban atau tanggung jawab kita sebagai orangtua/wali santri atas anak-anak kita yang menempuh pendidikan. Sebagai orang tua yang menyekolahkan anak-anak di pondok pesantren, kita harus menyadari bahwa kita memiliki kewajiban “fardhu ain” membayar SPP. Jangan sampai ketidakmampuan kita berdampak pada penzaliman terhadap para guru (ustadz) yang sudah memenuhi kewajiban mereka mendidik anak-anak kita agar mengenal Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya.
Menurut Rektor UNIDA Gontor, Gus Hamid, Universitas Harvard merupakan lembaga pendidikan hari ini yang tergolong sebagai lembaga pendidikan terbaik dari berbagai sisi, khususnya pada aspek pendidikan dan pengelolaannya. Mahasiswanya banyak menerima beasiswa, dosennya bergaji layak, literatur pustaka yang dimiliki sangat banyak, pengaruh kampusnya dirasakan hingga seluruh dunia, dan lain-lain. Salah satu rahasianya karena Harvard mengadopsi Konsep Wakaf Produktif dari Islam sebagai sumber utama pembiayaan finansial kelembagaannya. Dan menariknya, hal itu sudah dilakukan oleh Harvard (dan kemudian dicontoh oleh kampus-kampus lain di Eropa) selama lebih dari seratusan tahun.
Di Pondok Pesantren Gontor, konsep Wakaf Produktif sebenarnya juga sudah diterapkan sejak lama. Namun, hasilnya memang belum sebesar Harvard. Meskipun demikian, setidaknya saat ini sudah ada dampak positif yang dirasakan atas implementasi konsep Wakaf Produktif itu. Contoh paling mudah adalah betapa sangat murahnya biaya SPP di Pondok Gontor. Dua tahun silam, biaya SPP di Gontor hanya sekitar Rp600rban / bulan.
Mari kita coba berhitung secara kasar. Seorang anak yang nyantri atau mondok di sebuah pondok pesantren, setidaknya membutuhkan asupan makanan sehari 3x dan sebulan 30 hari. Taruhlah biaya makan Rp9.000/makan. Maka dalam sehari dibutuhkan Rp27.000/hari. Dalam sebulan (30 hari) biaya makan saja mencapai Rp810.000. Ini kita belum menghitung biaya pengajaran (misalnya Rp500.000), biaya pengganti asrama atau kos yang meliputi biaya kamar, biaya listrik, biaya air, dan lain-lain misalnya Rp200.000.
Dari sini saja, uang SPP Rp1,5 juta masih kurang sebenarnya. Maka, tentu saja biaya SPP di Pondok Pesantren Gontor sebesar Rp600rban / bulan merupakan biaya yang sangat murah sekali. Dengan perhitungan matematis seperti itu, kita bisa melihat bahwa Pondok Pesantren Gontor-lah di sini yang justru membiayai para santri yang belajar. Kalau seandainya dengan uang SPP yang semurah itu kita sebagai orang tua santri masih menunda-nunda pembayaran SPP, bukankah tepat jika kita termasuk orang-orang yang zalim?
Suatu waktu, saya menyimak pidato Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi di YouTube. Beliau menceritakan hubungan antara ekonomi, politik, dan pendidikan. Saya menangkap pesan yang apabila disederhanakan dalam 1 kalimat, “apabila budaya ilmu sudah menjadi prinsip hidup di setiap individu Muslim, maka semua akan berjalan dengan baik.”
Budaya ilmu di sini dimaksudkan sebagai suatu perwujudan atau kerangka kehidupan atas satu keadaan yang menyatukan setiap lapisan masyarakat dalam keterlibatan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kegiatan keilmuan di setiap kesempatan sehingga mempengaruhi perilaku individu maupun masyarakat yang ada di dalamnya.
Gus Hamid menyampaikan, peradaban pendidikan di era keemasan masa Islam itu didukung oleh politik (kekuasaan) yang membudayakan ilmu. Tokoh intelektual dan ulamanya juga membudayakan ilmu. Orang-orang kayanya juga membudayakan ilmu. Maka, begitu kekuasaan Islam yang diserang habis oleh Jengis Khan (Mongolia) yang tidak suka dengan budaya ilmu, maka peradaban dan pendidikan Islam saat itu langsung jatuh dan hancur. Beruntung, umat Islam masih memiliki ulama dan kalangan orang kaya yang masih menerapkan budaya ilmu.
Dalam persoalan finansial yang menyangkut proses pendidikan kita hari ini, kita harus menyadari terlebih dahulu perlunya (bahkan wajibnya) melestarikan budaya ilmu itu kepada setiap diri kita (fardhu ain). Apabila kita tergolong sebagai bagian dari orang-orang yang mampu atau kaya, maka kita harus menyadari bahwa tanggung jawab kita bukan hanya membiayai pendidikan anak-anak kita saja. Di sini, peran infaq sebenarnya bukan sekedar anjuran atau kesunahan semata. Tapi infaq bisa jatuh menjadi sebuah kewajiban bagi kita yang mampu jika kita memiliki tetangga yang miskin yang tak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Orang-orang miskin yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka karena persoalan biaya merupakan tanggungjawab dan kewajiban setiap individu muslim yang kaya (mampu) sampai orang miskin tersebut bisa menyekolahkan anak-anaknya. Sebaliknya, orang yang miskin tersebut juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap dirinya untuk berusaha semaksimal mungkin agar kewajibannya memenuhi hak anak dalam pendidikan bisa tercapai.
Penyadaran seperti itu harus disampaikan ke setiap individu masing-masing sesuai dengan perannya. Penyadaran dari pemimpinnya, dari ulamanya, dari masyarakatnya, dan juga dari individu-individu kita masing-masing. Penyadaran peran dan posisi masing-masing kita sebagai individu dan dilanjutkan dengan penyadaran diri kita terhadap tanggung jawab kepada sosial masyarakat atau komunitas atau lingkungan atau jamaah atau umat.
Dalam kondisi hari ini, saya berpandangan bahwa infaq, donasi, sumbangan, wakaf, atau apapun nama bantuan finansial yang kita keluarkan sebagai bagian dari kewajiban kita terhadap lingkungan sosial masyarakat, saat ini lebih tepat dan bermanfaat disalurkan di bidang pendidikan daripada yang lain. Infaq di pondok pesantren jauh lebih optimal manfaatnya daripada infaq di masjid-masjid, khususnya di masjid perkotaan.
Wakaf dan infaq di bidang pendidikan merupakan bagian dari implementasi pondasi budaya ilmu dari aspek finansial dalam rangka merintis jalan mengembalikan budaya ilmu yang lebih syumuliah (menyeluruh) di tengah-tengah umat untuk membangun peradaban Islam ke depan secara bertahap.
Filosuf Pendidikan abad ini Prof. Naquib Al-Attas menyatakan, dalam membangun sebuah peradaban mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yakni “ta’dib” bukan “tarbiyah”. Tujuan utama dari pendidikan tersebut adalah membentuk manusia yang memiliki adab (adab adalah disiplin rohani, akal, dan jasmani yang memungkinkan seseorang menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar). Sehingga, hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT.
Selanjutnya, Pak Natsir, Perdana Menteri Indonesia ke-5, merumuskan bahwa pendidikan Islam itu adalah tujuan hidup karena mengandung beberapa hal yaitu: (1) menjadikan manusia bertumbuh dan berkembang jasmani dan rohani, (2) menyempurnakan sifat kemanusiaan dan kesempurnaan akhlak karimahnya, (3) menjauhkan manusia dari sifat hipokrit atau berpura-pura dalam perilaku, (4) menjadikan manusia paham tujuan hidupnya yakni mengabdi kepada Allah SWT dan mencari keridhaan-Nya, (5) membentuk manusia rahmat bagi sesama dalam segala perilaku dan interaksi vertikal maupun horizontalnya, (6) menjauhkan manusia dari pendidikan yang menyesatkan dan pendidikan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya.
Karena itulah, infaq di bidang pendidikan merupakan investasi yang lebih dibutuhkan pada era saat ini bagi umat Islam. Selama ini kita menyaksikan mesjid megah dibangun di berbagai tempat di Indonesia namun kontribusinya untuk peradaban tidak optimal termasuk pendidikan di Ponpes memprihatinkan.
Kepedulian terhadap pendidikan dan sekolah Islam belum tumbuh. Lebih suka membangun masjid daripada memberi beasiswa kepada anak atau santri yang sekolah. Wallahu a’lam.
Komentar