Oleh : Dr. H. Ustadz Soetrisno Hadi, SH. MM. M. si.
TributeAsia.com, Jakarta-
Sumberdaya alam dikuras aseng, rakyat miskin dan bangsa yang tidak bersyukur:
Dalam hari-hari terakhir ini, kita dikejutkan kembali dengan informasi tentang ketidakjujuran dalam tata kelola pertambangan di Indonesia oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab.
Rilis Kejagung dalam bentuk breaking news yang menyebut kenaikan kerugian negara akibat tata kelola tambang timah dari 271 Trilyun menjadi 300 Trilyun sebagai total loss bukan potential loss.
Artinya kerugian itu memang nyata bukan dugaan semata. Belum lagi kerugian secara ekologis lingkungan yang tidak kecil artinya terhadap masa depan kawasan dan rakyat banyak. Apalagi bila dihitung nilai manfaat yang hilang begitu saja oleh segelintir orang dibandingkan kesejahteraan rakyat banyak yang bisa mendapat manfaat yang besar dari tambang itu.
Pada waktu bersamaan juga dirilis tentang ditetapkannya sejumlah eks GM, general manager, perusahaan aneka tambang negara sebagai tersangka korupsi 109 ton atau sama dengan 109 ribu kilogram emas sejak tahun 2010-2022. Ada ketidakjujuran dalam tata kelola komoditas emas di Indonesia.
Di waktu yang hampir bersamaan, dirilis oleh KPK ditetapkannya sejumlah orang sebagai tersangka karena melakukan kecurangan dalam tata kelola gas di perusahaan gas milik negara. Sekali lagi, ada kerugian negara yang tidak sedikit.
Emas, timah, dan gas adalah barang-barang tambang yang hakekatnya milik Allah swt (QS.al-Baqarah,2:29) diperuntukkan bagi manusia untuk kesejahteraan manusia seutuhnya (Lihat Tafsir Al-Jawahir, Prof. Dr. Thanthawi Jawhari). Karena semua yang ada di bumi dan langit ini adalah milik-Nya. Maka cara mengelolanyapun harus sesuai dengan kehendak Pemiliknya yaitu Allah SWT.
Secara bahasa kata emas disebut dalam ayat sebagai adz-dzahab, timah di lisan Arab dengan ar-rashashah, sedangkan gas dalam bahasa Arab modern dikenal dengan sebutan al-ghaz. Dua terakhir secara eksplisit tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, sedang kata adz-zhahab banyak tersebar dalam Al-Qur’an.
Ketiganya, masuk ke dalam kategori barang-barang tambang atau ma’bar jamaknya ma’abir. Aktifitas penambangan dikenal dengan sebutan ‘abara-ya’buru bi wasithat al-Ma’bar. Penambang dikenal dengan mu’addi al-Ma’bar.
Menurut QS. al-Hasyr, 59:2, dari proses melakukan penambangan menggali tambang ini hendaknya diambil pelajaran ‘ibrah bagi mereka yang mempunyai pandangan ulil abshar. Artinya, para penambang atau mereka yang menjadi stake holder di bidang pertambangan haruslah yang berkualifikasi sebagai ulil abshar. Sehingga tahu bagaimana mengapresiasi harta milik Allah SWT itu. Karena kita pada hakekatnya hanyalah mustakhlafina fiihi yang diberi kuasa untuk mengelolanya dengan amanah dari Allah SWT.
Bila ini yang dilakukan maka semua barang tambang itu didedikasikan sebesar-besar nya untuk kemaslahatan masyarakat luas dan bangsa Indonesia. Bukan hanya untuk kemewahan, kesenangan segelintir orang baik pengusaha, aparatur sipil negara, dan semua yang terkait dengan penambangan dan tata kelolanya.
Syarat kualifikasi ulil abshar di samping memiliki kecakapan keilmuan secara profesional juga harus orang yang saleh secara ritual dan sosial. Lebih khusus lagi, orang yang bertaqwa pada Allah SWT al-Muttaqin .
Karena, jika semua orang di negeri ini beriman dan bertaqwa, bisa dipastikan akan turun keberkahan Allah SWT dari langit maupun bumi (QS.al-A’raf,7:96). Bukan sebaliknya, kerusakan yang merata secara ekonomis, ekologis, dan lainnya. Kalau begitu, syarat jadi pengelola negara dan semua yang terkait haruslah mencerminkan nilai-nilai Qur’ani (beriman dan bertaqwa).
Semoga Allah SWT terus membukakan pintu hati kita semua untuk mau menerima hidayah, tawfiq, dan inayah-Nya. Negara dengan kualifikasi seperti itulah yang menjadi harapan kita semua. Amiin.(BTL)
Komentar