Khairul Fahmi
Secara umum umat Islam di berbagai belahan dunia hanya punya dua hari raya, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Khusus bagi masyarakat Betawi, selain dua Hari Raya tersebut, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal dengan Maulid Nabi, adalah hari raya yang ketiga.
Apa alasannya ? Karena pada bulan Rabiul Awwal ini, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, masyarakat Betawi seperti “wajib” mengadakan acara khusus dalam rangka mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Acara tersebut dikenal dengan acara Peringatan Maulid Nabi SAW. Saya pribadi lebih suka menyebutnya dengan Perayaan Maulid Nabi, karena kalau menggunakan bahasa Arab acara dimaksud adalah Haflah Maulidin Nabi SAW. Haflah diterjemahkan dengan “perayaan”, bukan “peringatan”.
Di masyarakat Betawi, acara Perayaan Maulid Nabi SAW rentang waktunya sangat panjang. Pelaksanaannya bukan hanya di bulan Rabiul Awwal saja, tapi tiga bulan setelah bulan Rabiul Awwal masih saja ada yang mengadakannya. Tapi pada umumnya acara tersebut dilaksanakan di bulan Rabiul Awwal. Atau acara Parayaan Maulid Nabi dimulai dari bulan Rabiul Awwal sampai menjelang bulan suci Ramadhan. Karena ada juga yang mengadakannya di bulan Sya’ban. Biasanya dirangkai dengan acara “tawaquf” (istirahat sejenak) pengajian di berbagai majlis ta’lim.
Di tahun 1980 an saat saya masih kecil, dan di saat kampung kami Pondok Pinang masyarakatnya masih relatif homogen (belum terlalu banyak pendatang seperti sekarang), kami menyambut perayaan Maulid Nabi dengan sangat suka cita. Wilayah yang masjid atau musollanya menyelenggarakan Perayaan tersebut menghias diri : jalan-jalan kampung dirapikan, umbul-umbul dipasang, dan musolla atau masjid dicat ulang. Saat pelaksanaan acara Maulid Nabi, masyarakat libur dari kegiatan hariannya. Kebetulan masyarakat Pondok Pinang jarang sekali yang menjadi pegawai. Sehingga sekalipun dilaksanakan di hari kerja, tidak mengganggu jadual harian masyarakat.
Satu hari sebelum pelaksanaan Parayaan Maulid masyarakat membuat masakan spesial yang tidak pernah dimasak pada hari-hari biasa. Namanya acar. Acar ini lauk pauk yang terbuat dari ketimun, wortel, dan bumbu-bumbu yang ditumis. Selain acar ada tambahan bihun, kacang, dan sambal kentang. Lauk pokoknya adalah semur daging. Karena maskot lauknya acar, maka kami menyebut teman yang musolla atau masjidnya mengadakan Perayaan Maulid Nabi dengan sebutan : “mabok acar”.
Tujuan pokok masyakat memasak masakan spesial itu adalah untuk dibawa ke masjid sebagai buah tangan sepulang menghadiri Perayaan Maulid Nabi. Buah tangan ini disebut “berkat”. Pada sebagian orang masakan itu juga dijadikan hantaran kepada orang tua atau sanak saudara terdekat.
Perayaan Maulid ini bagi masyarakat Betawi sedemikian penting. Karena pentingnya ada ungkapan : “apa kata dunia kalo kita gak ngadain Maulidan”. Acara ini juga digunakan sebagai ajang silaturrahmi, terutama bagi teman dekat. Kalau ada teman yg sengaja diundang secara pribadi, berarti itu teman dekat. Pernah suatu ketika satu tokoh agama di tempat saya berucap saat saya mau ke kampung istri saya : “mertua ajak ke sini ya, biar ikut Maulidan”. Ajakan ini walawpun sekedar pemanis bahasa, tapi mengaitkannya dengan acara Perayaan Maulid, menandakan acara Maulid Nabi sedemikian penting dalam memori kolektif masyarakat muslim Betawi.
Terkadang juga keikutsertaan dan pertisipasi orang dalam Peringatan Maulid Nabi ini jadi ukuran keislaman. Secara hiperbolik ada kesan orang yang tidak kelihatan solat berjamaah tidak terlalu dipermasalahkan. Tapi kalau orang tidak ikut merayakan Peringatan Maulid, terkadang jadi bahan omongan di masyarakat.
Kesan tentang spesialnya Maulid ini ada hanya pada masyarakat Betawi, karena pemahaman keagamaan masyarakat Betawi relatif homogen. Secara umum pehaman keagamaan masyakat Betawi bercorak Ahlussunnah wal jama’ah, Syafi’iyah-Asy’ariyyah. Dalam pemahaman corak seperti ini, maulidan menjadi bagian dari tradisi agama. Mencari orang Betawi yang berpaham modern atau puritan hampir sama saja dengan mencari orang Betawi yang beragama selain agama Islam.
Kondisi yang berbeda akan dijumpai pada masyarakat suku lain. Suku Sunda misalnya. Corak beragama orang Sunda cukup beragam : ada yang berpaham tradisional, dan banyak juga berpaham modern atau puritan. Sehingga dalam masyarakat Sunda Maulidan tidak bisa dikatakan sebagai hari raya ketiga selain Idul Fitri dan Idul Adha. Demikian juga suku Jawa dan yang lainnya : ada yang Maulidan, ada juga yang tidak Maulidan, tergantung dari corak pemahaman keagamaannya.
Wallahu a’lam bis shawab
Komentar