oleh

K.H Syafi Hadzami Gurunya Orang Pondok Pinang

Iklan Travel

Aku mengenal Kyai Syafi’i Hadzami pertama kali ketika melihat foto kopi kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Kitab Mughni Al Muhtaj milik kakak tertuaku, Bang Dayat, di mejanya. Aku bertanya tentang foto kopi kitab itu. Bang Dayat menjawab bahwa itu foto kopi kitab yang dikaji di MT Ni’matul Ittihad setiap hari Ahad pagi, pengasuhnya K.H M. Syafi’i Hadzami. Ternyata Abangku suka juga ikut hadir di Majlis Ta’lim beliau di Masjid Jami’ Ni’matul Ittihad Pondok Pinang setiap Ahad pagi.

Aku tertarik untuk ikut mengaji.Aku tidak terlalu ingat bagaimana awalnya bisa hadir di Majlis Ta’lim beliau untuk pertama kalinya. Yang jelas saat itu aku baru saja menyelesaikan belajarku di MAPK Ciamis bulan Juli 1994. Selama di Ciamis hampir semua pelajaran disajikan dengan huruf Arab gundul atau kitab kuning. Kebetulan aku sempat membeli kitab Tafsir Ibnu Katsir yang aslinya (bukan fotokopian) saat di MAPK dulu. Aku serasa menemukan komunitas yang cocok dimana aku bisa menjaga keberlangsungan belajar kitab kuning.

Iklan ASIA CORP

Jadilah aku hadir. Saat itu aku ingat betul materi tafsirnya adalah tafsir ayat 108 surah Al Baqoroh. Dilanjut dengan Kitab Shahih Muslim.Yang aku tahu Kyai Syafi’i Hadzami mengasuh tiga majlis ta’lim di tiga tempat : masjid jami’ ni’matul ittihad Pondok Pinang, Perguruan al asyirotussyafi’iyah Kampung Dukuh, dan masjid Jalan Bacang Mayestik. Kitab yang dibaca berbeda pula. Jamaah yang hadir sebagian besar sama.

Selintas yang kuperhatikan, jamaah yang hadir ahad pagi hadir juga di majlis ahad siang di asy syirot dam seterusnya. Cuma pindah tempat, dan ganti kitab. Aku hadir secara intensif di tiga Majlis itu mengendarai sepeda BMX. Terkadang kalau ada yang mengajak jalan bareng, aku membonceng motor.

Karena antusias, aku membeli beberapa kitab yang belum aku miliki, yaitu kitab Ihya Ulumiddin, Syarh al Hikam, Kifayatul Atqiya wa minhal Asyfiya, dan Jam’ul Jawami. Kitab Mugni Al Muhtaj belum sempat aku membelinya.

Yang menarik dari Kyai Syafii Hadzami adalah cara penyajiannya. Sebagai kyai sepuh dalam pengertian usia dan ilmunya, Kyai tidak bermain di retorika. Bahkan boleh dikatakam beliau bukan ahli retorika. Retorikanya datar. Bila yang diharapkan retorika, bisa dipastikan tidak akan datang lagi. Karena tidak ada yang menarik dari sisi ini. Tapi yang menginginkan kedalaman ilmu, akan menemukannya, dan akan hadir lagi pekan depannya. Beliau hanya membacakan kitab dan mengartikannya dengan bahasa Indonesia resmi, bukan bahasa Melayu berlogat Betawi. Saat menjelaskan beliau tidak berpanjang kalam, seperlunya saja, bahkan nyaris tidak ada penjelasan, hanya membaca dan menerjemahkan kitab.

Beliau tidak berpanjang kalam karena yang hadir sebagian besar para ustadz dan guru yang tidak perlu penjelasan banyak-banyak. Bahkan kalau terlalu banyak kesannya menggurui. Beliau baru memberikan penjelasan saat menjawab pertanyaan jamaah di sesi tanya jawab, setelah sesi membaca kitab.Ta’lim biasanya dimulai pukul 07.00 WIB diawali dengan tawasullan kepada guru-guru Kyai Syafi’i Hadzami, dilanjutkan dengan pembacaan solawat dustur oleh petugas.

Setelah itu Kyai yang memegang peran. Setelah kira-kira satu jam, terkadang lebih, ta’lim diakhiri dengan do’a i’tiraf.Aku mengikuti ta’lim dengan Kyai kira-kira satu tahun lamanya. Di tahun kedua dan seterusnya, aku sudah tidak terlalu intensif lagi hadir. Aku terlalu sibuk dengan kegiatanku di HMI. Aku hadir lagi di Majlis beliau setelah menikah bersama istriku. Tapi itupun tidak lama. Jarak tempat tinggal menjadi alasannya. Karena setelah menikah kami tinggal di Pondok Cabe. Tidak terlalu jauh memang. Tapi kondisinya berbeda dengan saat aku masih kuliah dulu.

Sampai akhirnya beliau wafat aku hanya mendengar beberapa waktu kemudian. Jadi tidak sempat ta’ziah dan mensolatkan jenazah beliau. Walaw begitu aku selalu menyebut beliau saat aku tawassulan, karena walawpun tidak terlalu lama, silsilah keilmuan aku sudah mendapatkannya.Apa yang membuatku betah mengaji kepada beliau ? Faktor kedalaman ilmunya tentu saja. Hal lain, adalah beliau tidak pernah memojokkan kelompok, atau paham lainnya yg tidak sepaham saat mengisi ta’lim.

Aku paling tidak suka kalau di satu majlis ada klaim kebenaran, mengaku paling benar, yang lain tidak benar atau kurang benar. Prihatinnya lagi, kemudian perbedaan itu asyik dieksploitasi sebagai bumbu penyedap dalam pembicaraan (narasi).Hal yang aku maksud pernah aku alami saat menghadiri majlis ta’lim yang diasuh oleh salah satu pengganti beliau di Pondok Pinang.

Setelah mendengar adanya klaim kebenaran, pekan depannya aku tidak hadir lagi.K.H Syafi’i Hadzami sudah lama berpulang. Saat ini memang belum ada yang menggantikan beliau dalam kualitas ilmunya. Tentang hal ini, guruku Ustdz Hidayat Yusuf pernah menyampaikan jauh-jauh hari sebelum wafatnya beliau.

Kenapa demikian ? Jawabannya bisa beragam. Zaman sudah berbeda. Mungkin. Tapi yang jelas saat ini telah terjadi perubahan orientasi di kalangan intelektual tradisional Islam (ulama) Betawi. Ulama Betawi tidak lagi terlalu mengupayakan kualitas ilmu dengan banyak membaca. Hal ini ditandai dengan tidak adanya karya tulis yang dihasilkan oleh ulama Betawi di Pondok Pinang atau di Jakarta Selatan setelah Kyai Syafi’i Hadzami.

Orang bisa menulis kalau banyak membaca. Padahal kita tahu, sejak usia 25 tahun Kyai sudah mulai menulis buku. Sampai wafatnya banyak kitab yang sudah ditulisnya.

Ulama atau ustadz setelah Kyai Syafi’i Hadzami lebih banyak mengeksplorasi retorika publik. Berbagus-bagus dalam teknik ceramah, dan melupakan “maqolahnya”.

Akhirnya, kita telah kehilangan ulama. Yang ada tinggal para penceramah.K.H M. Syafi’i Hadzami memang bukan orang asli Pondok Pinang. Beliau asli Tanah Abang. Tapi faktor ilmunya yang menyebabkan banyak orang yang menyambungkan silsilah ilmumya kepada beliau. Kyai Syafi’i Hadzami selalu hidup di hati orang Pondok Pinang(Wallahu a’lam bish showab)

Iklan ASIA CORP

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.