oleh

FATAMORGANA INDONESIA

Iklan Travel

Oleh: Tamsil Linrung*

IKLAN-TA-CALEG

Semua bangsa punya masalah, tanpa kecuali. Tetapi persoalannya bukan pada masalah yang menimpa, melainkan cara sebuah bangsa merespon masalah tersebut. Respon yang tepat berujung solusi, respon yang keliru menambah berat persoalan.

Pandemi global Covid-19 adalah cermin yang tepat buat kita mengaca perbedaan negara-bangsa merespon situasi. Ketika pandemi melanda dunia setahun lalu, negara lain sibuk membatasi akses lalu lalang orang, menutup batas wilayah negara dan memblokade akses antar provinsi.

Bangsa kita malah mempromosikan pariwisata atau mempromosikan jamu. Saat itu, Pemerintah menganggarkan Rp 72 Miliar untuk mebayar influencer dan promosi wisata. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 miliar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara.

Bukannya menyadari kekeliruan itu, sejumlah kebijakan dan ucapan pejabat malah menjadi sumber kontroversi. Lekat diingatan kalimat “corona masih jauh,” “masker hanya untuk orang sakit,” “mudik versus pulang kampung,” dan seterusnya. Selain jamu, seorang menteri bahkan pernah memperkenalkan kalung anti corona.

Hasilnya? Indonesia sempat mencatat rekor negara pertama di Asia Tenggara dengan satu juta kasus covid-19 dan negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara dan urutan ketiga di Asia setelah India dan Iran.

Bukan Tentang Covid

Sekali lagi, ini bukan tentang Covid-19. Ini tentang cara kita merespon masalah yang berpengaruh pada disorientasi perumusan keputusan.

Semestinya ada koreksi, ada introspeksi pada setiap kebijakan yang keliru. Bila perlu sebuah permintaan maaf kepada publik, setiap kali kebijakan merugikan rakyat. Itu tidak buruk. Itu sehat demi perbaikan negeri.

Penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga ekonomi. Masalahnya, dua sektor ini saling overlapping. Titik balik perbaikan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19, sementara penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit.

Sayangnya, solusi yang dipandang paling jitu sepertinya hanya mengutang. Sudah begitu, bunganya tinggi pula. Tadinya, utang menumpuk demi infrastruktur. Sekarang, utang menggunung demi memenuhi pembiayaan penanganan Covid-19.

Hingga akhir Januari 2021, jumlah utang Indonesia mencapai 6.233,14 triliun rupiah. Seiring menggunungnya pokok utang, bunganya pun terus membengkak. Tahun ini saja, beban Bungan utang naik lagi 18,8 persen, dari 314,1 pada 2020 triliun menjadi 373,26 triliun pada 2021.

Ironisnya, kebijakan utang Pemerintah yang dulu dikonsentrasikan untuk pembangunan infrastruktur justru terancam mangkrak di beberapa tempat. Sebutlah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai 5,5 miliar dolar AS atau jalur kereta api Makassar-Parepare sepanjang 145 kilometer di Sulawesi Selatan.

Perencanaan proyek yang ambisius berubah menjadi mimpi buruk. Rumah rakyat tergusur, lahan pertanian beralih fungsi, belum lagi dampak banjir akibat pembangunan rel dengan perhitungan drainase yang minim.

Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah manargetkan pembangunan proyek rel kereta api di Sulsel selesai Juni 2021. Namun, tak kunjung terlihat pergerakan di lapangan. Belakangan, sang gubernur malah terjerat OTT KPK dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur.

Upaya pencegahan dan pemberatasan korupsi semestinya dilakukan dari pucuk tertinggi pemerintahan. Namun, dari sana pula catatan buruk korupsi juga ditemukan. Belum genap dua periode Jokowi menjabat presiden, empat menterinya sudah tersandung korupsi.

Sebanyak dua menteri di periode pertama yakni Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan dua lagi di periode kedua yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Dapat dinilai, Presiden Jokowi gagal dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ketika jajaran kabinet yang dipilih dan disusunnya sendiri justru tersandera korupsi. Seharusnya pengalaman dua menteri terciduk KPK di periode pertama memberi pelajaran untuk ekstra hati-hati menyusun kabinet di periode kedua. Namun, reputasi yang sama kembali terulang. Bahkan catatannya menjadi lebih buruk sebab penangkapan dua menteri terjadi dalam tempo belum satu setengah tahun periode kedua berjalan.

Kemiskinan Merebak

Pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung. Kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan pandemi yang berkepanjangan menambah berat bobot persoalan menyusul robohnya sejumlah usaha dalam sektor industri dan UMKM.

Alhasil, persentase kemiskinan menembus dua digit. Data ini berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 oleh Badan Pusat Statistik ( BPS). BPS mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta atau 10,19 persen dari jumlah penduduk.

Angka tersebut naik 2,76 juta jiwa dibandingkan September 2019 atau bertambah 0,97 persen secara tahunan. Tingkat kemiskinan terakhir kali menembus dua digit pada September 2017 dengan jumlah 26,58 juta jiwa.

Alasan Pemerintah, kenaikan tersebut karena faktor Covid-19. Namun, kalau kita menelisik data BPS sebelumnya, tren angka kemiskinan sesungguhnya telah menanjak sebelum musim Covid-19 . Faktanya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang dan bertambah menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020.

Relevan dengan data tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam laporan catatan awal 2021 menyatakan, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan naik hampir dua kali lipat sebesar 7,8 persen atau sebanyak 10,4 juta jiwa. Angka pengangguran itu belum termasuk pengangguran terselubung yang jumlahnya dua kali lipat dari pengangguran terbuka.

Praktis, pelebaran angka kemiskinan mengakibatkan kehidupan kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pasalnya, kemiskinan cenderung diikuti oleh permasalahan lain, seperti rendahnya kualitas hidup masyarakat, kurangnya ssupan gizi dan kecukupan nutrisi serta kualitas pangan, dan lain-lain. Padahal, di musim pandemi begini, daya tahan tubuh harus ditingkatkan. Salah satunya melalui suplai nutrisi yang baik.

Di tengah situasi demikian, iuran BPJS kesehatan justru naik sejak Januari 2021 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini rasanya berbanding terbalik dengan relaksasi pajak penjualan mobil, meski terbatas dalam kategori produk low cost green car (LCGC).

Yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya. Alhasil, jurang kesenjangan sosial semakin lebar. Jangankan saat ini. Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda saja, kesenjangan sosial sudah terlihat nyata.

Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam [GNP SDA] 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96:4.

Pertanyaannya, dengan fakta-fakta di atas, lalu apa yang akan diwariskan Pemerintah saat ini kepada anak cucu kita kelak? Kita tunggu seperti apa perjalanan republik 3,5 tahun ke depan, hingga akhir masa Jabatan Presiden Jokowi.

Jangan biarkan Presiden Jokowi bekerja sendiri. Kita dukung beliau dengan kerja-kerja produktif dan kritik yang argumentatif, agar Indonesia tidak menyimpang lebih jauh.

Presiden Jokowi menyebut tahun 2021 ini dapat menjadi momentum Indonesia menjadi negara maju, jika mampu keluar dari krisis akibat Covid-19 dengan baik.

Semoga bukan fatamorgana.

  • Penulis Adalah Senator DPD RI
Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.