oleh

Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane Menuntut TPA Cipeucang di Tutup dan Pulihkan Cisadane

Iklan Travel

 

Tangsel, TribunAsia.com-Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane menggelar aksi pengarungan Sungai Cisadane mulai dari titik start Jembatan Keranggan hingga finish pengarungan di jembatan Kademangan. Aksi ini untuk menuntut tanggung jawab pemerintah kota Tangerang Selatan terkait jebolnya turap penyangga sampah TPA Cipeucang yang longsor memenuhi lebar Sungai Cisadane.

IKLAN-TA-CALEG

Hulu Cisadane yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS) mengalir melewati Kabupaten Bogor, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang Kota dan Tangerang Kabupaten.

” Pencemaran ekosistem di Sungai Cisadane, maka dampaknya akan diterima masyarakat tidak hanya wilayah Kabupaten Tangerang Selatan, Tangerang Kota dan Tangerang Kabupaten tetapi Kabupaten Kepulauan Seribu juga,” jelas aktivis lingkungan tersebut, Sabtu (20/6/2020).

Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane menyampaikan, Jumat, 22 Mei 2020 terjadi longsoran sampah ke sungai akibat jebolnya turap yang menopang TPA Cipeucang. Hasil pemantauan langsung, turap dibangun diatas tumpukan sampah bukan diatas tanah sehingga rawan longsor.

” Longsoran sampah menutup tiga per empat lebar Sungai Cisadane (hasil pantau langsung). Sebagian sampah sudah terbawa arus sehingga memenuhi sepanjang aliran sungai dan sisanya masih menumpuk di badan sungai. Tumpukan sampah ini menghambat arus sungai sehingga daerah pemukiman akan rawan banjir jika hujan turun,” ungkapnya.

Menurutnya, longsornya sampah ini juga menyebabkan polusi udara karena bau menyengat dari tumpukan sampah yang mengandung gas metana sehingga menimbulkan penyakit pernapasan, serta mengancam kualitas air sungai yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirta Benteng untuk disalurkan ke rumah-rumah warga.

Belum lagi dampak dari air lindi yang meresap ke tanah dan mengancam sumur-sumur sekitar TPA Cipeucang. Pemerintah kota Tangerang Selatan harus segera melakukan pananganan serius terkait sampah yang masih menumpuk di badan sungai, bau yang menyengat dan segera menutup kawasan TPA Cipeucang untuk seterusnya dan melakukan pemulihan ekosistem.

Kemudian, Juni 2012 TPA Cipeucang resmi mulai dioperasikan untuk menampung sampah wilayah Tangerang Selatan. TPA Cipeucang berlokasi di Kelurahan Kademangan, Tangerang Selatan seluas 2,4 hektar yang sudah beroperasi dan direncanakan akan dikembangkan hingga 10 hektar.

Lebih lanjut, Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane menjelaskan TPA Cipeucang menerima kiriman sampah 300 ton setiap hari. Meski sejak awal banyak dilakukan penolakan oleh warga sekitar karena lokasi TPA Cipeucang persis berada di sempadan Sungai Cisadane sedangkan menurut Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Bahwa lokasi TPA tidak boleh berada di kawasan lindung, dan juga TPA Cipeucang hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari pemukiman warga, tetapi pemerintah Kota Tangerang tetap melanjutkan penetapan lokasi TPA Cipeucang tanpa mengindahkan dampak buruk terhadap lingkungan. Selain itu, penetapan lokasi TPA Cipeucang persis di sepadan sungai juga bertentangan dengan Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.

Penetapan lokasi TPA Cipeucang sedari awal memang sudah menyalahi aturan. Selain berdampak buruk bagi ekosistem sungai, penetapan lokasi di sepadan sungai juga mengancam kesehatan masyarakat. Pemerintah harus merancang design pengelolaan sampah yang ramah lingkungan mulai dari hulu sampai hilir.

Proyek PLTSA yang selama ini disebut-sebut akan dibangun di TPA Cipeucang harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah yang berkelanjutan sesuai mandat UU No 18 Tahun 2008 dan PP No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Jika dibangun PLTSA di lokasi TPA Cipeucang, pencemaran tidak hanya ke air saja tetapi udara. PLTSA dengan teknologi incenerator (pembakaran) justru menimbulkan persoalan baru. Tidak hanya persoalan baru bagi kerusakan lingkungan hidup tetapi mengancam kesehatan masyarakat. Dengan kondisi sekarang saja, kualitas udara masih tidak layak, apalagi jika ditambah dengan pengelolaan sampah berbasis incenerator.

Selain itu, teknologi ini mahal namun berpotensi gagal. Teknologi ini hanya mengubah wujud sampah menjadi gas yang lebih berbahaya karena melalui proses pembakaran.

Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane melalui aksi ini menuntut :

1. Mendesak pemerintah kota Tangerang Selatan, terutama Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan untuk membuat sistem tanggap darurat atas jebolnya turap TPA Cipeucang.
2. Bertanggung jawab atas segala kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan tragedi jebolnya turap TPA Cipeucang.
3. Bertanggung jawab atas tercemarnya Sungai Cisadane.
4. Menutup dan merehabilitasi serta memulihkan lokasi TPA Cipeucang.
5. Menyusun grand design pengelolaan sampah yang berkelanjutan sesuai mandat UU No 18 Tahun 2008.

Rehwinda Naibaho selaku pengkampanye WALHI DKI Jakarta mengatakan, “Penetapan lokasi TPA di Cipeucang sudah salah dari awal. Banyak peraturan yang sudah bahkan sengaja dilanggar oleh pemerintah kota Tangerang Selatan. TPA tidak boleh berada di sempadan sungai karena sempadan sungai merupakan kawasan lindung. Bahkan TPA ini nyaris berada dibibir sungai,” ungkapnya.

Kemudian dia menambahkan, ” Ini masih seluas 2,4 hektar, bagaimana jika rencana perluasan hingga 10 hektar. Mau serusak apa lagi lingkungan ini nanti. Pemerintah seharusnya sudah punya grand design pengelolaan sampah mulai dari hulu hingga ke hilir dan harus jelas sasarannya siapa, tanggung jawabnya apa, sehingga tidak melimpahkan beban semua ke lingkungan hidup. TPA Cipeucang ini harus segera ditutup dan direhabilitasi,” tegas WALHI DKI Jakarta.

Adapun, Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane diantaranya :
1.KMPLHK RANITA UIN.
2.Sekber Jeletreng.
3.WALHI DKI Jakarta.
4.KMPA Manunggal Bhawana Institut Teknologi Indonesia.
5.Potensi Tangerang Selatan.
6.Wahana Muda Indonesia.
7.Anak Muda Desa Kademangan.

Selain itu, Samsara juga mengatakan, ” Sungai itu bukan tempat sampah, masih banyak masyarakat yang menggunakan airnya untuk dikonsumsi dan kebutuhan MCK. Jadi menjaga sungai sangatlah penting,” ujar koordinator aksi dari KMPLHK RANITA UIN.

Febry Ramdhani, Ketua Umum KMPA Manunggal Bhawana ITI menambahkan, ” Kejadian seperti ini jangan sampai terjadi lagi dan tidak bisa ditoleransi. Kejadian ini membuktikan bahwa pemerintah tidak berhasil membangun regulasi dan kesadaran masyarakat mengenai sampah dengan baik. Jangan hanya bergantung pada teknologi pengolahannya saja, tapi faktor regulasi dan kesadaran masyarakatlah yang tetap menjadi kunci utama keberhasilan penanganan sampah di Indonesia,” terangnya. (Dw)

Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.