oleh

Mampukah Konsolidasi Perbankan Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia ?

Iklan Travel

Jakarta, TribunAsia.com – Sektor keuangan Indonesia menjadi salah satu sektor yang banyak mendapat sorotan publik akhir-akhir ini. Berbagai dinamika perubahan ekosistem perbankan yang membuat persaingan kian ketat, tuntutan regulator dan stakeholders untuk selalu prudent namun tetap profit, kinerja laju kredit yang turun menukik, hingga belum cukup efektifnya pengawasan sektor keuangan yang berimplikasi pada kepercayaan masyarakat dan investor, Rabu (22/1/2020).

Kesemua tantangan sektor keuangan ini dapat menjadi ‘batu sandungan’ bagi upaya mendorong akselerasi perekonomian dan memperkokoh stabilitas sistem keuangan ke depan. Berikut beberapa poin catatan INDEF tentang kinerja sektor keuangan dan upaya konsolidasi perbankan dalam mendorong stabilitas sistem keuangan yang lebih kuat. Harapannya, analisis ini dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan perekonomian secara keseluruhan.

IKLAN-TA-CALEG

Melalui Press Release Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyampaikan, ruang terbuka pelonggaran kebijakan moneter Realisasi inflasi 2019 berada pada tingkat yang cukup rendah, yaitu 2,72 persen yoy. Di samping itu, nilai tukar Rupiah juga cenderung menguat dengan rata-rata Rp14.146/USD selama 2019, bahkan per 21 Januari 2020 mengalami apresiasi di Rp13.658/USD. Cadangan devisa pun meningkat, di Januari 2019 berada di USD120,08 miliar meningkat menjadi USD129,18 miliar pada Desember 2019. Di sisi lain, suku bunga acuan (BI 7-day reverse repo rate) masih berada di 5 persen.

Suku bunga acuan ini sudah mengalami penurunan sebesar 100 basis poin (bps) atau 1 persen sepanjang 2019 lalu. Namun, seiring spread suku bunga dengan realisasi inflasi 2019 yang cukup lebar dan relatif stabilnya nilai tukar, maka terbuka ruang bagi penurunan suku bunga acuan ke depan.

 

Persoalan Rigiditas Suku Bunga Perbankan

Penurunan suku bunga acuan belum mampu mendorong pertumbuhan kredkit perbankan karena persoalan rigitas suku bunga di Indonesia. Sejak Juni-Desember 2019, 7Days RR telah dikoreksi 100 basis poin atau 1 persen menjadi 5 persen. 7Days RR ditahan 5 persen sejak Oktober 2019. Sementara itu, suku bunga kredit modal kerja bank umum hanya turun 16 basis poin sepanjang Juni-Oktober 2019; pada jenis kredit investasi turun 20 basis point dan kredit konsumsi naik 6 basis poin.

Sementara itu, suku bunga kredit ekspo dan impor masing-masing naik 37 basis poin dan 22 basis poin. Korporasi cenderung mengakses kredit dari luar negeri (offshore) karena lebih murah. Biaya suku bunga perbankan luar negeri ditambah dengan biaya hedging masih lebih murah dari biaya kredit di domestik.

 

Persoalan Keketatan Likuiditas Bank Umum

Rasio kredit terhadap DPK sudah di atas 94 persen pada Oktober 2019. Angka tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2002 (kecuali pada 2018 mencapai 95,16 persen). Tingginya LDR yang tidak diikuti dengan pertumbuhan DPK tinggi, menjebak perbankan pada masalah likuiditas. Data Oktober 2019 menunjukkan, pertumbuhan kredit mencapai 6,43 persen (yoy) sedangkan DPK hanya tumbuh 6,29 persen. Tahun lalu, kredit tumbuh 13,09 persen sedangkan DPK hanya 6,45 persen (yoy).

Sektor riil perlu stimulus Rendahnya realisasi kredit perbankan pada 2019 yang hanya tumbuh 6,08 persen menggambarkan adanya perlambatan di sektor riil. Hal ini mengingat sebagian besar kebutuhan likuiditas di sektor riil masih mengandalkan perbankan. Pemerintah perlu segera memberikan berbagai stimulus ke sektor riil guna mengungkit kembali laju perekonomian. Review tentang tingkat efektivitas berbagai stimulus fiskal yang sudah dikeluarkan, termasuk dukungan kebijakan bagi sektor industri, perdagangan, dan pertanian perlu segera dilakukan agar kebijakan bisa optimal.

 

Rupiah Menguat, Nikmat Sesaat

Dengan kondisi perekonomian global yang melambat saat ini, terutama di negara-negara maju, maka tidak mengherankan jika likuiditas global bermigrasi ke negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Ini dikarenakan hampir semua negara maju menggunakan strategi pelonggaran kebijakan moneter untuk mendorong perekonomiannya, sehingga insentif bunga yang diberikan semakin kecil.

Akhirnya, investor memilih menanamkan uangnya di negara-negara yang masih memiliki tingkat bunga menarik. Terlebih lagi, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, suku bunga di Indonesia relatif lebih tinggi sehingga mendorong masuknya dana-dana jangka pendek. Sebagai perbandingan, pada Desember 2019 suku bunga acuan di Malaysia dan Thailand sebesar 3 persen, Filipina 4 persen, sementara Indonesia masih 5 persen.

Agar dana-dana jangka pendek ini tidak menimbulkan gejolak nilai tukar saat mereka pulang kandang, maka harus mulai dilakukan ‘detoksifikasi’ atas derasnya aliran hot money ini. Penurunan suku bunga acuan menjadi salah satu opsi yang bisa dilakukan untuk menjaga agar nilai tukar lebih stabil.

 

Pasar Bank Mulai Meredup

Dalam beberapa waktu terakhir ini pertumbuhan ekonomi dunia masih memperlihatkan perlambatan. Para pelaku ekonomi global masih cenderung melakukan aksi “wait and see” seiring dengan masih tingginya ketidakpastian geopolitik global. “Gencatan” perang dagang antara AS-China belum bisa meredakan iklim ketidakpastian karena di sisi lain Trump malah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Kondisi ini mengakibatkan proses perdagangan dunia dan ekspansi usaha pelaku ekonomi global cenderung stagnan. Kondisi ini berdampak pada pasar perbankan dalam negeri. Seiring dengan masih redupnya perekonomian dunia, perekonomian Indonesia cenderung stagnan rendah. Pelaku ekonomi swasta nasional lebih banyak menahan ekspansi usahanya, bahkan yang sudah mengajukan kredit juga cenderung melakukan undisbursed loan. Hal ini berdampak pada menurunnya pertumbuhan kredit bank, baik kredit modal kerja maupun investasi.

 

Persaingan Bank Semakin Meningkat

Perkembangan Financial Technology (FinTech) yang sangat cepat baik Fintech peer to peer lending (P2P)/crowdfunding maupun Fintench payment menjadikan persaingan di industri perbankan naik signifikan. Perkembangan FinTech ini telah menggerus pasar lembaga perbankan. Hal ini terlihat ketika kredit lembaga perbankan turun, kredit yang disalurkan FinTech tumbuh sangat cepat. Sampai dengan bulan November 2019 pertumbuhan penyaluran dana di Fintech P2P mencapai 186,67% (year to date / ytd) dengan nilai mencapai Rp74,54 triliun.

Bahkan pelaku Fintech P2P yang terdaftar dan berizin sampai dengan akhir tahun 2019 sudah mencapai 144 entitas, jauh melebihi jumlah bank umum yang hanya mencapai 118 unit. Hal yang sama juga terjadi di Fintech payment. Walaupun pelaku Fintech payment masih relatif sedikit dibandingkan Fintech P2P, namun transaksi dan potensi pembayaran dengan e-dompet sangat besar. Sampai dengan pertengahan tahun 2019 setidaknya terdapat 38 e-dompet yang telah mendapatkan lisensi resmi.

Seiring dengan menjamurnya e-dagang dan uang elektronik, transaksi e-dompet di Indonesia mencapai US$1,5 miliar setara dengan Rp21 triliun (1 US$ = 14.000). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi Rp 355 triliun pada 2023.

Meredupnya pasar perbankan ditambah dengan perkembangan FinTech yang sangat pesar akan berdampak langsung terhadap kinerja bank. Jika bank tidak bisa beradaptasi dan merespon kondisi ini dengan baik maka kinerja lembaga akan terus menurun.

 

Konsolidasi Perbankan Mendesak

Struktur perbankan Indonesia masih rentan guncangan ekonomi dan diprediksi sulit bersaing ke depan. Beberapa tantangannya adalah berkembangnya ekonomi digital, shadow banking, digital banking, open banking, hingga virtual banking.

Jumlah bank di Indonesia terlalu banyak, namun tidak ditopang oleh bank-bank besar. Menurut data OJK (2019) jumlah bank yang memiliki aset di bawah Rp10 triliun mencapai 32 bank, yang terdiri dari: BUKU 1 (12); BUKU 2 (14); BUKU 1 Syariah (4) dan BUKU 2 Syariah (2). Data September 2019 menunjukkan 69 bank BUKU 1 dan BUKU 2 bermodal inti di bawah Rp3 triliun sebagaimana level minimal yang akan disyaratkan oleh OJK. (Dw)

Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.