oleh

KPAI Tangani Kasus Hukuman Siswa Jilat WC Hingga Dijemur Matahari 

Iklan Travel

Jakarta, TribunAsia.com – Selama bulan April-Juli 2018, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan melakukan penanganan dan pengawasan kasus pelanggaran hak anak sebanyak 33 kasus.

Terdiri dari : Anak korban kebijakan sebanyak 10 kasus (30,30%); pungli di sekolah sebanyak 2 kasus atau 6,60%; (tidak boleh ikut ujian sejumlah 2 kasus ( 6,60%); Penyegelan sekolah sebanyak 1 kasus (3..30%); anak putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah sejumlah 5 kasus (15%); dan kasus tertinggi adalah anak korban kekerasan/bully sebanyak 13 kasus (39%).

IKLAN-TA-CALEG

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam siaran persnya, Senin (13/8/2018) mengatakan, kekerasan di sekolah dengan dalih mendisiplinkan menjadi trend kasus pendidikan selama April sampai dengan Juli 2018.

Kekerasan tersebut berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak karena menimbulkan trauma berat, cedera fisik, bahkan sampai mengakibatkan kematian pada anak. Adapun wilayah, pengawasan kasus meliputi wilayah DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, Depok, Garut, Purwokerto, Jogjakarta, Mojokerto, dan Bali.

“Sebagian guru menganggap bahwa siswa hanya dapat didisiplinkan dengan hukuman (cenderung kekerasan) ketimbang melakukan disiplin positif serta pemberian penghargaan atau reward kepada peserta didik,” ujarnya.

 

Alasan Disiplin, Guru Terapkan Kekerarasan pada Siswa

Berikut ini beberapa kasus selama April-Juli 2018 yang menunjukkan guru masih menggunakan hukuman/kekerasan dalam mendisiplinkan siswanya:

1. Kasus MB, siswa kelas 4 SDN di wilayah kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara dihukum RM, gurunya dengan menjilat WC karena lupa melaksanakan tugas dari gurunya untuk membawa kompos.

Hukuman jilat WC diperintahkan sebanyak 12 kali, namun baru jilatan keempat, anak korban mengalami muntah. Hukuman ini tentu saja menimbulkan trauma bagi korban.

2. Seorang guru SMK di Puwokerto berinisial LK, menghukum siswa berinisal L yang terlambat dengan tamparan sangat keras, bahkan saat memukul, sang guru menggunakan ancang-ancang dan sampai terhuyung setelah melakukan penamparan.

Akibat penamparan tersebut, para siswa mengalami telinga yang mendengung selama beberapa hari. Pukulan semacam ini dapat berakibat pecahnya gendang telinga korban. Guru tersebut kemudian dilaporkan oleh orangtua korban ke polisi dan saat ini masih dalam proses hukum.

3. Seorang siswi (MH DA) salah satu SMAN di Mojokerto, Jawa Timur dihukum squad jam oleh seniornya sebanyak 120 kali (sudah dilakukan 90 kali), karena terlambat mengikuti kegiatan salah satu ekstrakurikuler di SMAN tersebut.

Hukuman fisik tersebut mengakibatkan cedera berat yang menimpa seorang siswi hingga korban berpotensi mengalami kelumpuhan. Korban diduga kuat mengalami cedera serius pada bagian tulang belakang akibat squad jump yang dilakukannya, sehingga korban berpotensi mengalami kerusakan sistem jaringan saraf secara permanen. Selain itu, secara psikologis, korban juga mengalami trauma.

4. Sebuah SMK swasta yang merupakan sekolah berasrama di wilayah Minahasa (Sulawesi Utara) menghukum siswinya yang terlambat apel dengan cara dijemur hanya mengenakan handuk yang dililit ditubuh para siswi. Yang memprihatinkan, ternyata ada seorang siswi yang dihukum saat itu sedang menstruasi. Hukuman semacam ini merupakan hukuman yang melecehkan anak perempuan dan sekaligus bentuk kekerasan psikis yang akan berdampak trauma pada korban karena dipermalukan dan direndahkan martabat, derajat dan harkat kemanusiannya. Siswa yang dihukum tentu saja berpotensi mengalami trauma berat.

 

Kasus yang Ditangani KPAI

Dikatakan Retno, selama April-Juli 2018 KPAI juga melakukan penanganan dan pengawasan kasus-kasus kekerasan di pendidikan yang berakibat meninggalnya korban, yaitu sebagai berikut :

1. KPAI dan KPPAD Bali menerima pengaduan kasus meninggalnya ananda A.A SA (15 tahun) siswi salah satu SMAN di Denpasar karena diduga kelelahan setelah mengikuti MPLS. Diduga kuat tugas MPLS yang sangat banyak dan harus ditulis tangan di berlembar-lembar kertas double folio setiap harinya, membuat ananda mengalami stress dan kelelahan berat.

Ananda adalah tipe anak yang perfeksionis dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan padanya. Ananda meninggal pada 20 Juli 2018 di hari MPLS nya yang terakhir. Sebelumnya, ananda minta dibangunkan pukul 02.00 wita karena belum menyelesaikan tugas membuat puisi, namun saat dibangunkan, korban dalam kondisi lemah dan sempat mengalami kejang-kejang sebelum di bawa ke rumah sakit.

Saat KPAI pengawasan ke Bali, pemerintah provinsi Bali sangat kooperatif dan bersedia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MPLS di sekolah korban, jika ditemukan kelalaian maka akan dilakukan pembinaan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

2. Pada Juli 2018, kita dikejutkan dengan kasus meninggalnya siswa FDL (12 tahun) karena ditusuk gunting oleh kawan sebangkunya MH (12 tahun) yang bersekolah di salah satu SDN di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Pada hari itu kebetulan para siswa memang ditugaskan membawa gunting pada pelajaran seni rupa. Meskipun Keluarga korban tidak menuntut secara hukum karena pelaku masih kerabat dekat, namun kasus ini harus menjadi pembelajaran semua pihak, terutama poihak sekolah untuk memiliki kepekaan terhadap anak-anak yang berpotensi melakukan kekerasan.

3. Saat KPAI sedang melakukan pengawasan kasus dugaan kekerasan pada kegiatan MPLS d salah satu SMA di kota i Denpasar, kami dikejutkan dengan kabar meninggalnya ananda NK (16 tahun) siswi salah satu SMK swasta di Gianyar pada senin 6 Agustus 2018 sekitar pukul 12.30 Wita saat mengikuti latihan gerak jalan menyambut HUT RI ke 73 tahun, ananda juga diduga kelelahan.

Serangkaian Latihan yang dilakukan di terik matahari tersebut, diduga tidak mempertimbangkan aspek kesiapan kesehatan fisik dan mental calon peserta gerak jalan. Pengawasan kasus ini kemudian dilanjutkan oleh mitra KPAI, yaitu KPPAD Bali.

Retno melanjutkan, kebijakan di pendidikan baik level sekolah, daerah maupun nasional ada yang berpotensi melanggar hak-ahak anak.

 

Korban Kebijakan

KPAI menyebutnya sebagai anak korban kebijakan, diantaranya yaitu sebagai berikut:

1. Kebijakan pendidikan secara nasional, yaitu Soal HOTS dalam Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2018 adalah salah satu kebijakan yang berdampak mengorbankan peserta didik.

Peserta UNBK merasakan kesulitan dalam mengerjakan soal-soal jenis itu karena tidak pernah dikenalkan dengan soal jenis itu dan proses pembelajaran selama 3 tahun di sekolahnya tidak pernah menggunakan pendekatan HOTS.

2. Selain soal HOTS di UNBK, KPAI juga menerima laporan anak korban kebijakan zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), termasuk pungli terhadap siswa baru yang berkedok pembelian seragam sekolah.

Sosialisasi PPDB dengan menggunakan zonasi (jarak terdekat rumah ke sekolah) sangat minim sehingga banyak tidak dipahami para pendaftar, termasuk panitia di sekolah dan Dinas Pendidikan setempat.

Pembagian zonasi tidak mempertimbangkan jumlah penduduk dan jumlah sekolah negeri terdekat, akibatnya banyak calon peserta didik baru gagal mengakses sekolah negeri.

3. Ada beberapa kebijakan local sekolah dan daerah yang juga berpotensi melanggar hak-hak anak, misalnya Instruksi Gubenur No. 16 Tahun 2015 tentang pencegahan di sekolah mengakibatkan sekolah mudah mengeluarkan siswa yang terindikasi melakukan kekerasan.

KPAI mendorong Dinas-dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk melakukan percepatan program Sekolah Ramah Anak (SRA), dimana salah satu indikator SRA adalah di sekolah tersebut tidak mengedepankan hukuman dalam pembinaan terhadap para siswanya.

Tetapi mengutamakan pemberian reward atau penghargaan pada siswa yang melakukan perbuatan positif dan menerapkan disiplin positif dalam menangani siswa yang dianggap bermasalah.

KPAI, kata Retno, mendorong Kemdikbud dan Kemenag Republik Indonesia untuk secara berkelanjutan memiliki program peningkatan kapaistas guru dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas. Hal ini diperlukan agar para guru dapat menangani anak-anak yang bermasalah di kelasnya tanpa kekerasan.

Kemudian,  KPAI mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk bersinergi dengan Kementerian Lembaga (KL) terkait untuk percepatan Raperpres Sekolah Ramah Anak (SRA), yang sudah di inisiasi 2 tahun lalu, namun pembahasannya sempat mandeg saat ini.

Raperpres SRA harus kembali dibahas dan dipercepat pengesahannya di Kemenko PMK, hal ini sebagai upaya menjadikan sekolah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik sehingga tumbuh kembang anak dapat maksimal.

Terkait dengan gempa Lombok yang mengakibatkan 539 sekolah mengalami kerusakan dan 282 diantaranya adalah gedung Sekolah Dasar (SD), maka KPAI mendorong pemerintah membuat sekolah-sekolah darurat mengingat proses perbaikan gedung sekolah yang terdampak gempa akan memakan waktu cukup lama.

Selama pembangunan sekolah dilakukan, maka anak-anak harus tetap dipenuhi haknya mendapatkan pembelajaran. (GN)

Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.