oleh

Pertamina Mengambil Alih Blok Rokan dari Chevron : Sedih atau Gembira ?

Iklan Travel

TribunAsia.com

Oleh : Iman Supriyono, (CEO SNF Consulting)

IKLAN-TA-CALEG

Pertamina mengambil alih blok minyak Rokan dari Chevron. Anda bergembira dengan berita ini? Anda bangga dengan berita ini? Bagaiman kalau judul beritanya begini, “72 dari 86 ladang minyak Indonesia dikelola oleh asing”. Atau, “84% ladang minyak negeri ini dikelola asing”. Anda sedih atau gembira? Saya yakin Anda akan jadi sedih. Lalu mana yang benar? Sedih atau gembira?

Mari kita cermati datanya. Data SKK migas menyebutkan bahwa negeri ini memiliki 86 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) operator blok minyak. Dari 86 tersebut Pertamina mengelola 13 blok. Pada data hari SKK Migas hari ini,  blok Mahakam dan blok Rokan belum dalihkelolakan ke Pertamina. Ini menunjukjan bahwa SKK Migas juga tidak merasa perlu untuk memperbaharui data berdasar transaksi terbaru yang sudah terjadi. Namun demikian, dengan pengalihan tersebut  maka Pertamina saat ini menjadi operator dari 15 blok.

Dari 15 tersebut ada 3 blok sepenuhnya dioperasikan oleh Pertamina.  Sisanya bekerja sama dengan pihak lain. Dua blok bekerja sama dengan Medco, satu blok dengan perusahaan daerah, dan 10 blok dengan perusahaan asing.

Selain Pertamina, dalam daftar perusahaan lokal Medco mengelola 9 blok. Dari jumlah tersebut, 2 bekerja sama dengan pertamina, 7 dikelola sendiri. Masih ada Lapindo yang mengelola satu blok. Ada juga Hexindo yang mengelola satu blok. Dengan demikian, secara keseluruhan perusahaan asing mengelola 72 blok alias 84% dari seluruh blok minyak di Indonesia. Rinciannya, 10 blok bekerja sama dengan Pertamina dan 62  blok murni asing.

Pertanyaannya, apa yang membuat Pertamina yang BUMN tidak bisa mengelola 100% blok minyak yang ada? Bukankah blok minyak itu dikuasai negara dan Pertamina juga 100% milik negara? Memang betul. Bumi, air udara dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun demikian penguasaan saja tidak akan menghasilkan kemakmuran. Cadangan minyak di perut bumi perlu dibor  untuk menjadi uang dan kesejahteraan. Dan untuk itu dibutuhkan modal yang tidak sedikit.

Sebagai gambaran,  peralihan pengelolaan blok Rokan masih menyisakan PR bagi Pertamina yaitu menyediakan modal. Mengutip Plt. direktur utama Pertamina Nicke Widyawati, detik.com memberitakan (1 Agustus 2018) bahwa Pertamina membutuhkan pihak lain untuk menyediakan dana Rp 1,008T yang dibutuhkan untuk pengelolaan blok Rokan. Chevron, pengelola lama, termasuk pihak yang berprospek menjalin kerja sama dengan Pertamina tersebut. Jika ini terjadi, berita diatas akan berjudul “73 dari 86 blok minyak Indonesia dikelola asing”.

Pertanyaannya, apakah Pertamina benar-benar tidak mampu mengelola ladang-ladang minyak tersebut? Tidak. Mestinya Pertamina mampu. Peluangnya ada. Hanya saja peluang itu sejauh ini tidak dilakukan. Apa peluangnya? Tidak lain adalah Pertamina menerbitkan saham baru melalui lantai bursa dan dijual ke masyarakat luas.  Saat ini pemerintah RI memiliki 100% dari 133 090 697 lembar saham Pertamina. Tidak ada pihak lain yang memiliki saham BUMN tersebut. Dengan nilai Rp 1 juta perlembar maka pemerintah RI telah  menyetor Rp 133 T.

Misalkan saja pertamina menerbitkan 14,9 juta  juta lembar saham baru alias 20% dari saham total setelah penerbitan saham baru, Pertamina berpotensi untuk menerima dana dari masyarakat luas sebesar sekitar Rp 146 Trilyun. Angka ini dihitung dengan benchmark rasio antara laba dan harga saham (PER, price to earnig ratio) Medco di Bursa Efek Indonesia. Laba Pertamina tahun 2016 adalah USD 2,553 Milyar (IDR 36,8T). Dengan bencmark PER Medco sebesar 20,83 maka nilai 100% saham pertamina adalah IDR 766T. Melepas 20% saham artinya akan menerima IDR 153T.

Secara nominal 14,9 jutA lembar saham Pertamina nilainya hanya 14,9T. Artinya, dengan menerbitkan dan melepas 20% saham baru Pertamina akan menerima IDR 138T sebagai agio saham. Dalam bahasa awam agio saham bisa dianggap sebagai “upeti” dari pemegang saham baru kepada Pertamina. Agio saham berkedudukan seperti laba ditahan. Tidak boleh diambil oleh Pemerintah sebagai pemegang saham pendiri Pertamina. Hanya boleh digunakan untuk ekspansi antara lain untuk modal pengelolaan blok-blok minyak di negeri ini.  Pemegang saham lama dan baru akan sama-sama menikmati laba yang lebih besar dengan dimanfaatkanya dana pelepasan saham baru. Jika satu blok minyak butuh dana Rp 1T maka dana tersebut sudah berlebih untuk mengelola seluruh blok minyak yang ada. Juga berlebih untuk mengelola blok-blok minyak yang kelak akan ditemukan.

Pertanyaanya, mengapa itu tidak dilakukan? Inilah masalahnya. Menerbitkan dan melepas saham baru adalah bagian dari langkah korporatisasi. Masyarakat kita belum berpola pikir korporatisasi. Tidak banyak perusahaan di Indonesia yang melakukannya secara berkelanjutan. Banyak yang sama sekali tidak melakukan dan tidak ingin melakukan korporatisasi. Jika pun melakukanya, banyak diantaranya yang prosesnya berhenti dengan initial public offering alias IPO. Setelah IPO tidak pernah lagi menerbitkan saham baru. BUMN yang telah IPO kebijakannya seperti ini. Korporatisasainya berhenti.

Korporatisasi secara terus-menerus akan menghasilkan perusahaan raksasa seperti Chevron pengelola blok Rokan sebelum dialihkan ke Pertamina. Saat ini nilai Chevron adalah IDR 3 438 T. Jika menerbitkan dan  melepas saham 10% saja perusahaan asal USA ini akan menerima dana IDR 343T. Itulah mengapa Chevron bisa mengelola ladang-ladang minyak di berbagai negara. Termasuk di Indonesia. Sebelum alih kelola blok Rokan, Chevron mengelola 6 blok minyak di Indonesia.

Kita  harus memilih satu diantara dua alternatif. Alternatif pertama adalah pemerintah tetap memegang 100% saham Pertamina tapi 84% blok minyak dikelola asing. Alternatif kedua Pertamina menerbitkan dan melepas 20% saham baru dan demikian prosentase saham pemerintah tinggal 80% tetapi mampu mengelola 100% ladang minyak. Pada alternatif kedua, saham pemerintah tetap berjumlah 133 090 697 lembar dengan nilai IDR 766T. Nilai ini terdongkrak dengan adanya “upeti” dari pesaham baru.  Tidak ada satu lembar saham pun milik pemerintah yang dijual kepada siapapun. Alternatif kedua ini adalah langkah korporatisasi.

Sudah jelas? Anda sedih atau gembira dengan kondisi saat ini? Kalau Anda masih punya nasionalisme mestinya sedih. Lalu bagaimana kedepan? Pertamina memilih alternatif pertama yang tanpa korporatisasi tapi 84% blok minyak dikelola asing? Atau memilih alternatif kedua yaitu melakukan korporatisasi dan 100% blok minyak dikelola Pertamina? Keputusannya ada di tangan masyarakat Indonesia melalui DPR. Bagaimana pendapat Anda?

 

SNF Consulting, 4 Agustus 2018

Iklan HUT RI Ponpes Al-Khafilah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.